Suara.com - Seorang mantan petinggi NATO mengeluarkan peringatan keras tentang potensi ancaman yang akan dihadapi Inggris dan negara-negara Eropa lainnya jika mereka gagal mengirimkan bantuan militer ke Ukraina dan sekutu di kawasan Baltik.
Sir Richard Shirreff, mantan wakil komandan tertinggi sekutu NATO di Eropa, menyebut bahwa kebijakan Presiden AS Donald Trump telah memberikan "pukulan mematikan" bagi aliansi pertahanan tersebut. Trump mendapat kritik tajam karena menekan Ukraina dengan melarang berbagi intelijen dan menangguhkan bantuan militer dari AS, padahal negara itu masih berperang dengan pasukan Rusia yang dipimpin oleh Vladimir Putin.
Kekhawatiran meningkat bahwa jika AS benar-benar keluar dari NATO, maka negara-negara anggota lainnya, termasuk Inggris, akan kehilangan dukungan militer utama. Selama ini, AS membiayai sekitar 22 persen dari anggaran tahunan NATO yang mencapai £3,2 miliar, tetapi kini kontribusinya turun menjadi kurang dari 16 persen. AS juga memiliki anggaran pertahanan terbesar di dunia, menjadikannya kekuatan militer paling dominan.
![Rongsokan tank Rusia di perang Ukraina. [Dok.Reuters]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/11/16/24847-perang-ukraina.jpg)
Sir Richard memperingatkan bahwa jika perang di Ukraina berakhir dengan kesepakatan damai yang menguntungkan Rusia—sesuatu yang mungkin terjadi jika Trump menengahi perundingan—maka Putin akan mendapatkan kesempatan untuk memperkuat militernya dan melanjutkan ambisinya menguasai seluruh Ukraina. Ia mengingatkan bahwa dalam esainya pada 2021, Putin pernah menyatakan bahwa Ukraina dan Rusia adalah satu bangsa, sehingga mengindikasikan niatnya untuk melenyapkan kedaulatan Ukraina.
Menurut Sir Richard, setelah menguasai Ukraina, Putin kemungkinan besar akan berupaya menempatkan pemerintahan boneka di Georgia, Moldova, dan Rumania sebelum akhirnya mengarahkan perhatiannya ke negara-negara Baltik. Jika hal itu terjadi, perang langsung antara Eropa dan Rusia tak dapat dihindari, termasuk potensi serangan terhadap Inggris.
Sir Richard menegaskan bahwa jika Rusia melanjutkan agresinya ke Eropa, maka pola serangannya akan menyerupai kehancuran yang terjadi di Ukraina, seperti yang terlihat di Mariupol. Ia menggambarkan bagaimana Rusia menggunakan rudal untuk menghancurkan kota-kota sebelum melancarkan serangan darat yang disertai kekejaman terhadap warga sipil.
"Ini akan melibatkan deportasi anak-anak, pemerkosaan terhadap perempuan, dan pembantaian warga sipil," ujar Sir Richard, mengacu pada pelanggaran HAM yang dilaporkan terjadi di Ukraina.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa Rusia telah mendeportasi anak-anak Ukraina ke wilayahnya sendiri, sementara di kota Bucha ditemukan banyak warga sipil yang dieksekusi dengan tangan terikat di belakang punggung dan luka tembak di kepala.
Rusia, tanpa bukti, mengklaim bahwa pembantaian di Bucha adalah operasi palsu, tetapi Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyebutnya sebagai tindakan "genosida".
Baca Juga: Serangan Gaya Ninja, Pasukan Rusia Sembunyi di Pipa Gas untuk Sergap Tentara Ukraina!
Selain itu, mantan Komandan Angkatan Darat AS di Eropa, Ben Hodges, mengingatkan bahwa dalam skenario perang dengan NATO, Rusia bisa menargetkan infrastruktur transportasi vital seperti bandara dan pelabuhan. Oleh karena itu, ia menyerukan agar negara-negara Eropa memperkuat pertahanan mereka sebelum terlambat.
Sir Richard menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk mencegah ekspansi militer Rusia adalah dengan terus memasok senjata ke Ukraina. Ia juga menyarankan agar negara-negara NATO mempertimbangkan wajib militer atau konskripsi untuk meningkatkan kesiapan pertahanan mereka.
"Jika Eropa terpecah belah, dan jika Eropa tidak mengambil langkah yang diperlukan, maka saya benar-benar khawatir akan masa depan kita," ujarnya, menyoroti pentingnya solidaritas Eropa dalam menghadapi ancaman Rusia.
Polandia menjadi salah satu negara yang telah mengambil langkah nyata dalam menghadapi situasi ini. Pemerintah Polandia sedang merancang program pelatihan militer skala besar bagi seluruh pria dewasa, sebagai bagian dari rencana untuk membangun pasukan yang terdiri dari 500.000 tentara, termasuk pasukan cadangan.
Sementara itu, mantan Menteri Pertahanan Inggris, Ben Wallace, mengomentari potensi keluarnya AS dari NATO. Dalam wawancara dengan BBC Radio 4, ia menyebut bahwa meskipun situasi itu akan menjadi "mengerikan", Eropa masih memiliki kapasitas finansial dan kemauan politik untuk membangun pertahanan sendiri.
Di tengah meningkatnya ancaman perang, Inggris dan Prancis tetap berupaya memimpin koalisi perdamaian global. Mereka sedang berusaha meyakinkan negara-negara lain untuk berpartisipasi dalam operasi penjaga perdamaian di Ukraina, meskipun tidak semua pihak yang tertarik akan mengirim pasukan. Beberapa di antaranya kemungkinan akan berkontribusi dalam bentuk lain, seperti dukungan logistik atau keuangan.
Upaya diplomatik untuk mencari solusi damai juga terus berlanjut, dengan pertemuan antara AS dan Ukraina dijadwalkan berlangsung di Arab Saudi pekan ini. Menteri Pertahanan Inggris, John Healey, juga akan bergabung dalam diskusi dengan para mitranya untuk membahas langkah-langkah berikutnya.
Di sisi lain, Trump kembali mengeluarkan pernyataan yang memicu kontroversi. Pada Jumat lalu, ia mengklaim bahwa bernegosiasi dengan Kyiv lebih sulit dibandingkan dengan Kremlin, dan ia ingin perang ini "diselesaikan" sebelum berkomitmen pada jaminan keamanan bagi Ukraina.
Sebelumnya, Trump juga menyatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan penerapan sanksi dan tarif terhadap Rusia hingga tercapai kesepakatan damai final. Ia menyoroti bahwa Rusia saat ini "menghancurkan" Ukraina dengan serangan yang tak kunjung berhenti, sehingga langkah-langkah ekonomi mungkin diperlukan untuk menekan Moskow agar menghentikan agresinya.