Amnesty Internasional: Rencana Perluas Jabatan TNI Aktif di Sipil Ancam Demokrasi, Indonesia Selevel Myanmar

Minggu, 09 Maret 2025 | 12:39 WIB
Amnesty Internasional: Rencana Perluas Jabatan TNI Aktif di Sipil Ancam Demokrasi, Indonesia Selevel Myanmar
Ilustrasi TNI. [Pixabay]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menegaskan, seharusnya DPR dan pemerintah mempersempit area penempatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Hal itu dikatakan Usman menyampaikan kritik terhadap rencana DPR dan pemerintah yang ingin memperluas wilayah penempatan anggota TNI aktif di jabatan sipil melalui Revisi UU TNI khususnya Pasal 47 UU No. 34 tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.

Usman berujar, rencana perluasan wilayah jabatan sipil bagi anggota aktif TNI dapat dilihat dalam usulan perubahan dengan penambahan frasa Pasal 47 Ayat (2) UU TNI: “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden".

“Yang diperlukan adalah mempersempit area penempatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil. Bukan memperluasnya. Saat UU TNI disahkan, pengecualian jabatan sipil untuk anggota TNI aktif itu transisional sifatnya. Pengaruh politik militer masih kuat,” kata Usman dalam keterangannya, dikutip Minggu (9/3/2025).

Ia mengatakan, setelah 20 tahun sejak UU tersebut dibuat seharusnya pengaruh politik militer itu hilang karena mereka lebih berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsi utama sebagai alat negara untuk kebijakan pertahanan nasional.

"Tapi yang terjadi justru sebaliknya,” katanya.

DPR dan pemerintah selaku otoritas sipil memiliki wewenang penuh untuk melakukan kontrol demokratis terhadap militer. Usman menekankan wewenang tersebut wajib dijalankan oleh DPR maupun pemerintah.

Secara politis, kata dia, perluasan area jabatan sipil bagi anggota TNI aktif jelas akan memperluas pengaruh politik militer di pemerintahan sipil. Bahkan, langkah tersebut bisa memperkuat kontrol militer atas pemerintahan sipil.

"Akibatnya, pembuatan keputusan akan kental dengan sisa kultur militeristik yang patriarkhis," tegas Usman.

Baca Juga: Konflik Batin Panglima TNI Soal Kenaikan Pangkat Mayor Teddy

Di sisi lain, secara militer, penempatan anggota TNI aktif ke jabatan sipil mengurangi profesionalisme dan kompetensi para personel di bidang militer dan pertahanan.

"Kesiapan dan efektifitas pertahanan jelas berkurang,” katanya.

Selain menyoal penempatan anggota TNI aktif di jabatan sipil, Amnesty juga mengkritik wacana penghapuan larangan berbisnis dan larangan berpolitik praktis bagi anggota TNI aktif melalui Revisi UU TNI.

Menurut Usman, bila hal itu terealisasi, maka akan berakibat terjadinya benturan kepentingan, korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya.

Indonesia juga diprediksi semakin mengalami kemunduran demokrasi bila semua wacana tersebut benar-benar diakomodir DPR dan pemerintah melalui perubahan undang-undang.

Menurut Usman, Indonesia akan mirip seperti negara yang kualitas demokrasinya rendah. Bahkan kembali sejajar dengan negara yang bukan demokrasi, seperti Mesir, Thailand, Turki dan Myanmar.

Melalui keterangan tertulisnya, Usman membeberkan alasan mengapa demokrasi Indonesia bisa turun, bahkan sejajar dengan negara yang bukan demokrasi.

Di Mesir misalnya, anggota militer aktif menduduki jabatan sipil dan badan usaha milik negara. Hal ini merupakan bagian dari strategi militerisasi yang diterapkan oleh pemerintah Mesir untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya pasca kudeta militer atas pemerintahan Presiden Muhammad Morsi.

Sementara di Turki, anggota militer aktif juga menduduki jabatan sipil dan badan usaha milik negara. Negara yang sempat nyaris masuk ke dalam Uni Eropa ini belakangan mengalami regresi demokrasi yang drastis.

Contoh lainnya di Thailand, anggota militer aktif juga menduduki jabatan sipil dan badan usaha milik negara. Penempatan militer di jabatan sipil ini makin luas setelah kudeta militer pada tahun 2014.

Sementara itu yang terjadi di Myanmar adalah anggota militer aktif menduduki jabatan sipil dan badan usaha milik negara. Myanmar merupakan negara di Asia Tenggara yang paling lama dikuasai junta militer.

"Negara ini hanya sempat mempunyai pemerintahan sipil di bawah Aung San Suu Kyi dalam waktu singkat dan berakhir ketika terjadi kudeta pada tahun 2021," kata Usman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI