Suara.com - Koalisi masyarakat sipil mengkritik sikap pemerintah yang seolah menginginkan kembalinya Dwifungsi TNI. Hal ini ditandai dengan adanya pembahasan soal revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) di DPR RI.
Langkah ini seiring dengan penerbitan Surat Presiden (Surpres) dari Prabowo Subianto kepada DPR RI untuk membahas Rancangan Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang UU TNI.
Koordinator komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya, mengatakan dalam draf yang diterima oleh koalisi masyarakat sipil, terdapat beberapa masalah krusial terutama kembali dihidupkannya Dwifungsi TNI.
“Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, berdasarkan draft revisi UU TNI yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat usulan-usulan perubahan yang problematik,” kata Dimas dalam konferensi pers, di YLBHI, Kamis (6/3/2025).
Baca Juga: Prabowo Wanti-wanti Rosan Cs, Jangan Ada Orang Titipan Ikut Kelola Danantara
Kekhawatiran yang pertama yakni adanya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Ini menjadi isu yang sangat kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil.
Hal ini dapat dilihat dalam usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.
“Penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI,” kata Dimas.
Frasa ini dinilai memiliki peluang interpretasi yang lebih terbuka lebar untuk menempatkan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya.
Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil.
Baca Juga: Asing Bawa Kabar Buruk Buat Prabowo dan Sri Mulyani
Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan, kata Dimas, bukan hanya salah tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri.
Profesionalisme TNI dapat terwujud jika menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya.
![Ilustrasi prajurit TNI. [Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/09/22/12519-ilustrasi-prajurit-tni.jpg)
“Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus,” tegas Dimas.
Penempatan TNI di luar fungsi, lanjut Dimas, juga bakal menimbulkan dampak pada rancunya kewenangan prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM, apakah pelanggar bakal diadili lewat peradilan umum atau di peradilan militer.
Mengingat hingga kini, pemerintah dan DPR enggan melakukan revisi terhadap UU Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer. Berdasarkan UU itu, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di peradilan militer.
Dimas menuturkan, hal ini menimbulkan persoalan ketika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, karena jika mereka terlibat dalam tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat sipil, mereka tetap diadili di peradilan militer, bukan di peradilan umum sebagaimana berlaku bagi pejabat sipil lainnya.
Hal ini tentu menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan.
Sejauh ini, Imparsial mencatat jika sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Kemudian, 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI.
Kekhawatiran selanjutnya, yakni tentang adanya usulan untuk menghapus larangan berbisnis bagi anggota TNI. Ketentuan ini dianggap pandangan yang keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI.
“Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis,” ujar Dimas.
Dimas menyebut jika pihak militer bercampur dengan kegiatan bisnis dan politik bisa mengganggu profesionalisme para prajurut.
“Seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana mengatakan, kekhawatiran lain yang muncul adalah adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI. Pasal tersebut berbunyi prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.
Padahal reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” ucap Arif.
![Prajurit TNI AD mengikuti upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta, Sabtu (5/10/2024).[ANTARA FOTO/Fauzan]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/10/05/37593-hut-tni-di-monas.jpg)
Tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip semua manusia setara di mata hukum atau equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.
Arif juga memandang upaya perluasan peran aktor keamanan melalui revisi UU Polri juga harus dihentikan. Alih-alih meluaskan peran TNI-Polri sudah seharusnya Pemerintah dan DPR fokus memperkuat lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan dan lainnya, bukan malah melemahkan dengan memotong anggarannya secara signifikan.
“Kami mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat,” tegas Arif.
Ia menyebut DPR dan pemerintah sebaiknya fokus untuk mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI.
“Kami juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif, menolak segala intervensi dan lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia,” pungkasnya.