Melawan Ketidakadilan, Perempuan Papua: Pembangunan Negara yang Berorientasi Ekonomi Telah Menghancurkan Kehidupan

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Rabu, 05 Maret 2025 | 19:33 WIB
Melawan Ketidakadilan, Perempuan Papua: Pembangunan Negara yang Berorientasi Ekonomi Telah Menghancurkan Kehidupan
Lia, dari Yayasan Pusaka. (tangkap layar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kehidupan perempuan adat Papua disebut semakin terancam oleh kebijakan negara yang berorientasi pada investasi berbasis lahan. Lia, dari Yayasan Pusaka menyoroti bagaimana pembangunan yang diklaim demi pertumbuhan ekonomi, justru menghancurkan ruang hidup perempuan adat di Papua.

Perempuan Papua kata dia, masih menggantungkan hidup pada hutan. Namun, ekspansi industri dan proyek negara terus mempersempit ruang hidup mereka.

“Pembangunan negara yang berorientasi ekonomi telah menghancurkan kehidupan perempuan Papua,” kata Lia dalam diskusi publik Aliansi Perempuan Indonesia, Rabu (5/3/2025).

Negara kata dia, terus mendukung investasi skala besar tanpa mempertimbangkan dampak bagi masyarakat adat.

Baca Juga: Pakar Beberkan Resep Jitu Genjot Ekonomi, Pemerintah Harus Dukung Industri Padat Karya

Ia kemudian menyebut salah satu contoh nyata adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke yang berencana mengambil alih 2 juta hektare lahan.

“Mereka tidak pernah memberikan keuntungan pada warga setempat, terutama perempuan,” tegasnya.

hutan papua yang akan dibabat PT. Indo Asiana Lestari Papua (freepik)
hutan papua yang akan dibabat PT. Indo Asiana Lestari Papua (freepik)

Dalam menghadapi ancaman ini, banyak perempuan adat memilih melawan dengan cara mereka sendiri. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang berupaya mempertahankan sumber daya mereka.

“Ada kampung yang punya kelompok perempuan yang kuat sekali, mereka dekat dengan perusahaan kelapa sawit dan mulai sadar akan ancaman itu,” kata Lia.

Sebagai bentuk perlawanan, mereka mengembangkan ekonomi mandiri dengan membuat tepung dari sagu, minyak kelapa, dan abon ikan. Namun, mereka terus menghadapi intimidasi.

Baca Juga: Prabowo Resmikan Danantara: Mampukah jadi Katalisator Pertumbuhan Ekonomi RI?

“Beberapa kali humas perusahaan datang melakukan pendekatan untuk mengambil lahan mereka, tetapi mereka melawan dengan lantang,” kata dia.

Menurutnya ketakutan terbesar perempuan adat bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga ancaman kekerasan.

“Apalagi memiliki anak dan kita melihat anak kita disiksa, dipukul,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Andriyeni dari Solidaritas Perempuan menyoroti bagaimana kebijakan negara, termasuk PSN dan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggapnya semakin memperparah penderitaan perempuan.

“Kebijakan itu akan ada situasi penindasan, penggusuran, perampasan, dan berdampak serius,” ujar Andriyeni.

Menurutnya, negara menggunakan hukum sebagai alat untuk membungkam perlawanan.

“Rezim ini jahat, memakai hukum untuk menjustifikasi tindakan-tindakan demokratis yang dilakukan,” tegasnya.

Meskipun menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, perempuan tetap berada di garis depan perlawanan. Mereka dengan tegas menolak jika dianggap tidak memiliki hak atas lahan.

Andriyeni dari Solidaritas Perempuan. (tangkap layar)
Andriyeni dari Solidaritas Perempuan. (tangkap layar)

“Dalam proyek-proyek seperti ini, perempuan tidak pernah dilibatkan, karena mereka menganggap perempuan tidak memiliki hak atas lahan,” ujar Lia.

Andriyeni menambahkan bahwa konflik agraria bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal ketidakadilan sistemik yang menghancurkan kehidupan perempuan.

“Konflik agraria ini selain merusak lingkungan juga merugikan perempuan. Ini menjadi kejahatan yang sistemik untuk menghancurkan kehidupan manusia,” katanya.

Di tengah ketidakadilan yang terus terjadi, perempuan adat Papua dan aktivis perempuan lainnya tetap berjuang.

“Kita bergerak bersama. Perempuan melawan kemiskinan,” tutup Andriyeni.

Reporter: Kayla Nathaniel Bilbina

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI