Monopoli dan Potongan Gaji: Ironi Pekerja Migran Perempuan di Bawah Bayang-bayang UU PPMI

Chandra Iswinarno Suara.Com
Rabu, 05 Maret 2025 | 18:38 WIB
Monopoli dan Potongan Gaji: Ironi Pekerja Migran Perempuan di Bawah Bayang-bayang UU PPMI
Aktivis Kabar Bumi Iwenk Karsiwen saat diskusi yang digelar Publik Aliansi Perempuan Indonesia secara daring, Rabu (5/3/2025). [Tangkapan layar]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Minimnya perlindungan hukum yang didapat Pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerja migran perempuan kontradiktif dengan kontribusi mereka terhadap perekonomian negara.

Hal tersebut menjadi sorotan dari perwakilan organisasi pekerja migran Kabar Bumi, Iweng. Ia mengemukakan bahwa mayoritas pekerja migran perempuan bekerja sebagai PRT dan masih mengalami diskriminasi.

Ia menekankan bahwa Undang-undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) masih mewajibkan PRT melalui perusahaan swasta atau Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia (PTKI), yang menyebabkan monopoli dan potongan gaji yang tinggi.

"Ini sangat ironis karena kami, pekerja migran, menjadi penyumbang devisa terbesar kedua negara, tetapi perlindungan masih belum maksimal dan diserahkan ke swasta,” ujarnya dalam Diskusi Publik Aliansi Perempuan Indonesia, Rabu (5/3/2025).

Baca Juga: Investigasi Internal Digelar Terkait Pekerja Migran indonesia Ditembak APMM Malaysia

Selain itu, Iweng mengungkapkan bahwa banyak dokumen pekerja migran yang ditahan, seperti akta kelahiran, Kartu Tanda Pengenal (KTP), surat izin, dan ijazah.

Ia juga menyoroti kasus kekerasan seksual dan pemaksaan kontrasepsi untuk memastikan pekerja tidak hamil.

"Ini seperti bisnis perdagangan manusia," katanya.

Ia menekankan bahwa sekitar 9 juta pekerja migran terpaksa bekerja di luar negeri karena perampasan tanah, pemutusan hubungan kerja, dan alasan lainnya.

Bahkan, kondisi mereka di luar negeri masih jauh dari perlindungan dan rentan terhadap eksploitasi.

Baca Juga: Malam Maut di Laut Tanjung Rhu, Tragedi Lima Pekerja Migran Indonesia Ditembak Otoritas Malaysia

"Untuk itu kami menuntut negara untuk perlindungan, khususnya perempuan," tegasnya.

Sementara itu, Perwakilan Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT Jumisih menyoroti kasus kekerasan fisik yang dialami dua PRT di Kelapa Gading, Jakarta Utara oleh pemberi kerja.

"Ini adalah kekerasan yang menyebabkan dua PRT itu luka. Ini situasi yang terjadi, kita tidak dapat memprediksi kapan ini bisa berakhir, karena negara masih abai," ujarnya.

Ia menekankan bahwa faktor utama kejadian tersebut adalah belum adanya perlindungan hukum bagi PRT di Indonesia.

Jumisih menegaskan bahwa PRT adalah bagian dari pekerja yang memiliki hak-hak seperti upah yang layak dan jam kerja yang manusiawi.

Perwakilan Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT Jumisih. [Tangkapan layar]
Perwakilan Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT Jumisih. [Tangkapan layar]

Namun karena Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) belum disahkan, kekerasan terhadap PRT masih berlanjut.

Perlindungan Hukum di Luar Negeri

Ia juga menyoroti bahwa kondisi PRT di luar negeri sering dipertanyakan oleh pemberi kerja terkait perlindungan hukum.

"'Di negaramu aja nggak ada kok, kenapa di sini kamu minta?'" katanya mengutip pertanyaan pemberi kerja asing.

Jumisih menjelaskan bahwa keberadaan UU PPRT akan melindungi PRT maupun pemberi kerja melalui perjanjian tertulis yang berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Ia juga menekankan bahwa penyalur PRT memiliki kewajiban untuk memberikan pelatihan dan informasi yang jelas kepada calon PRT mengenai pemberi kerja.

"PRT itu adalah pekerja, maka ia layak mendapat perlindungan hukum," katanya.

Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan pejabat setempat dalam mengawasi kondisi PRT.

Jumisih mengungkapkan bahwa pihaknya telah diundang untuk menyampaikan urgensi UU PPRT dan sangat terbuka untuk berdiskusi dengan legislatif yang mungkin belum memahami isiannya.

“Kemarin kami bertemu dengan Menteri Perempuan untuk menyampaikan urgensi UU PPRT,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa PRT adalah pekerja, bukan asisten, babu, atau budak, sehingga membutuhkan perlindungan hukum.

"PRT adalah pekerja, bukan budak. Sahkan UU PPRT sekarang juga," tegasnya.

Reporter : Kayla Nathaniel Bilbina

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI