Suara.com - Renny, perwakilan dari Serikat Pengemudi Ojek Online Indonesia, mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi oleh pengemudi ojek online (ojol) perempuan, khususnya di Sukabumi, Jawa Barat.
Meskipun 80% pengguna ojol adalah perempuan, hanya sekitar 20% pengemudi ojol di daerah tersebut yang berjenis kelamin perempuan. Hal itu menjadikan mereka sebagai minoritas dalam profesi ini.
Renny menyoroti bahwa, berbeda dengan sektor lain seperti manufaktur, pengemudi ojol perempuan tidak mendapatkan hak-hak khusus yang seharusnya mereka terima.
“Kami harus bergabung dengan laki-laki yang notabene merokok, bercanda yang sangat melecehkan. Jadi tidak nyaman sekali jika perempuan berada di basecamp ojol,” ujarnya dalam diskusi publik Aliansi Perempuan Indonesia, Rabu (5/3/2025).
Baca Juga: Kabar Baik dari Menaker! Ojol Bakal Dapat THR, Aturan Sedang di Godok
Selain itu, ia juga menyebut tidak ada tempat istirahat yang memadai dan nyaman bagi pengemudi perempuan. Salah satu isu serius yang dihadapi adalah ketiadaan cuti melahirkan.
Renny mengungkapkan bahwa jika seorang pengemudi perempuan tidak aktif menarik penumpang selama 30 hari, akunnya akan dinonaktifkan.
“Kami harus tetap bekerja saat hamil sampai 8 bulan, tidak ada cuti. Sampai melahirkan tidak ada cuti,” ungkapnya.
Pengemudi ojol perempuan juga sering menghadapi pembatalan pesanan oleh pelanggan karena dianggap kurang mampu dibandingkan pengemudi laki-laki.
“Dalam sebulan bisa 10-15 kali dicancel,” katanya.
Selain itu, dalam aksi-aksi demonstrasi ojol, tuntutan hak-hak perempuan jarang disuarakan karena mereka merupakan minoritas.
“Seringkali kita didiskriminasi oleh rekan-rekan kita karena patriarki. Jadi kita harus lebih keras lagi jika ingin didengar,” tambahnya.
Pelecehan verbal dan fisik menjadi bagian dari keseharian pengemudi ojol perempuan.
Mereka sering menerima komentar tidak pantas, permintaan nomor kontak, hingga ajakan ke tempat yang tidak semestinya, baik dari pelanggan maupun rekan kerja.
“Belum lagi kalau misalnya di jalan banyak tangan yang raba-raba karena merasa ojol perempuan mancing,” ujar dia.
Renny mengungkapkan stigma sosial juga dirasakan oleh keluarga, salah satunya perundungan yang terjadi pada anaknya karena pekerjaan ibunya sebagai pengemudi ojol.
Pendapatan yang minim memaksa banyak pengemudi perempuan membawa anak saat bekerja karena tidak mampu menitipkan mereka. Tekanan ekonomi, kondisi lalu lintas, dan masalah rumah tangga menambah tingkat stres yang tinggi.
Beberapa pengemudi bahkan mengalami keguguran atau komplikasi saat melahirkan akibat kelelahan bekerja hingga usia kandungan 8 bulan.
“Akhirnya ada masalah saat melahirkan dan rahimnya diangkat,” tambahnya.
Renny berharap suara pengemudi ojol perempuan dapat didengar dan diperhatikan.
Ia menekankan bahwa pemerintah dan organisasi terkait belum memberikan perhatian yang layak terhadap hak-hak mereka.
“Negara tahu, tapi seolah-olah tidak tahu, tidak pernah dianggap,” katanya.
Menurutnya, akar masalah terletak pada ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh kekuasaan oligarki, dan ia menyerukan untuk merebut kembali kedaulatan rakyat. (Kayla Nathaniel Bilbina)