Gencatan Senjata Rapuh, Ramadhan di Gaza Dihantui Ketakutan

Aprilo Ade Wismoyo Suara.Com
Selasa, 04 Maret 2025 | 20:53 WIB
Gencatan Senjata Rapuh, Ramadhan di Gaza Dihantui Ketakutan
Sejumlah warga Palestina menjalankan salat tarawih di sekitar bangunan runtuh akibat bom yang dilancarkan Israel. (Twitter/@tanyakanrl)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tengah kebangkitan kehampaan dan kehilangan orang-orang tercinta, masyarakat Palestina di Jalur Gaza tahun ini terpaksa menyambut bulan suci Ramadhan dengan luka emosional dan kondisi fisik yang lelah, setelah 15 bulan serangkaian serangan Israel di wilayah yang terkepung tersebut.

Sementara umat Islam di seluruh dunia merayakan Ramadhan dengan doa dan pesta, suasana di Gaza malah mencerminkan cerita yang berbeda.

Jalan-jalan di Gaza yang sebelumnya ramai dan penuh kehidupan kini hanya menyisakan puing-puing. Reruntuhan rumah yang hancur menjadi pengingat suram tentang kehancuran akibat konflik, dengan udara yang dipenuhi bau mesiu, kematian, dan pembusukan.

Dengan berakhirnya fase pertama gencatan senjata antara Palestina dan Israel pada Sabtu (1/3), dan belum ada tanda-tanda dimulainya fase kedua, warga Gaza kini hidup dalam kecemasan tinggi dan ketakutan akan kemungkinan terjadinya konflik yang kembali.

Baca Juga: Jelang Peringati Satu Dekade, DRW Skincare Gelar Kampung Ramadan di Wedomartani

“Hari-hari tanpa serangan memberi sedikit kelegaan. Namun, kami tetap hidup dalam ketakutan akan serangan yang mungkin terjadi lagi,” ujar Om Mohammed al-Najjar dari Khan Younis, Gaza selatan, yang kehilangan tempat tinggalnya akibat pengeboman baru-baru ini.

“Kami sudah cukup menderita. Ramadhan seharusnya menjadi waktu penuh damai, tetapi di sini tidak ada kedamaian,” katanya.

Mohammed Al-Dahdouh (45), seorang ayah dari Gaza City dengan empat anak, mengenang saat-saat indah ketika keluarganya menghiasi rumah mereka dengan lentera dan dekorasi berwarna cerah. Dapur dipenuhi dengan aroma lezat maqluba dan qatayef, serta tawa yang menggema di seluruh ruangan.

"Dahulu, Ramadhan selalu menjadi momen berkumpul di sekitar meja makan, dengan tawa anak-anak dan aroma masakan yang memenuhi udara," kata Al-Dahdouh kepada Xinhua.

"Sekarang, tidak ada rumah, bahkan meja makan pun tak ada. Kami terpaksa berdesakan dalam tenda kecil, dengan makanan yang hampir tidak mencukupi,” tambahnya.

Baca Juga: Sinopsis Film No Other Land yang Menang Oscar 2025, Sorot Realita Pahit di Palestina

"Kami bertahan hidup karena tidak memiliki pilihan lain. Kami adalah orang-orang yang mencintai kehidupan dan berhak untuk hidup dengan damai," jelasnya.

Tasaheel Nassar, seorang wanita Palestina dari Kota Rafah yang kehilangan suami, saudara laki-laki, dan orang tuanya dalam serangan udara Israel, menyatakan kepada Xinhua bahwa "Semangat bulan suci Ramadhan seakan pudar di Gaza. Tidak ada lagi lentera, dekorasi khas Ramadhan, atau keramaian pasar. Yang ada hanyalah keheningan yang dibawa oleh bayang-bayang kematian dan kehancuran yang terus membayangi."

Meski begitu, sebagian warga Gaza memilih untuk tidak menyerah. Arkan Radi, pria 35 tahun dari Deir al-Balah, bersama teman-temannya, menggantungkan dekorasi khas Ramadhan di tenda mereka.

“Kami menyadari bahwa dekorasi ini tidak akan merubah kenyataan kami,” kata Radi.

“Namun, ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa kami masih ada, masih bertahan hidup bahkan di masa-masa terburuk. Ini bukan solusi, tetapi saya ingin menyampaikan pesan harapan dan kegembiraan bagi anak-anak saya,” tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI