Suara.com - Sejumlah mahasiswa yang menggelar aksi ‘Ruwatan Kepala Daerah’ mendapat tindakan represif dari aparat keamanan. Adapun aksi ini dilakukan pada Jumat (28/2/2025) lalu bertepatan dengan saat penutupan retret kepala daerah di depan Kompleks Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah.
Mahasiswa yang saat itu tergabung dengan organisasi masyarakat sipil membentangkan spanduk sebagai tanda keresahan mereka.
Koordinator aksi, Enrille Geniosa mengatakan, usai para aparat yang merupakan TNI maupun polisi menarik keluar para wartawan, mereka langsung membubarkan aksi secara paksa.
“Dalam proses pembubaran, masa aksi yang sudah mencoba berdiskusi dan bertindak kooperatif sesuai arahan justru mendapat tindak represi dari TNI dan polisi selaku aparat pengamanan,” kata Enrille, kepada Suara.com melalui pesan Whatsapp, Minggu (2/3/2025).
Akibat pembubaran paksa itu, sejumlah massa aksi mengalami cidera. Mereka disinyalir mendapat represif dengan cara dicekik, diinjak bahkan disikut oleh petugas.
“Tidak hanya itu, selama aksi berjalan terdapat perlakuan yang kami duga sebagai pembatasan pers, berpendapat, kekerasan verbal, perampasan, perusakan alat aksi dan perlakuan yang kami duga adalah pelanggaran hukum lainya,” katanya.
Sebelum melakukan aksi, Enrille menyebut, pihaknya telah melakukan pemberitahuan. Pihaknya juga mengaku telah berkoordinaasi dengan pihak Polres, Polda, Kodim, Kirem, bahkan Kodam.
Massa yang saat itu ingin berpakaian serba hitam juga diminta untuk menggunakan batik. Lokasinya pun telah bergeser, yang semula mimbar bebas bakal dilakukan di deoan gerbang Akmil, digeser ke trotoar yang berada di seberang gerbang.
Namun sehari sebelum berlangsung, lokasi aksi kembali digeser di perempatan yang berjarak cukup lumayan dari pintu keluar-masuk Akmil Magelang dan mengarahkan massa untuk bertemu dengan pihak DPRD Magelang.
Baca Juga: Dihadiri SBY-Jokowi, Begini Pesan Megawati usai Absen Undangan Prabowo di Parade Senja Magelang
“Kami tidak setuju karena tujuan aksi adalah untuk menunjukkan suara-suara kepada kepala daerah se-Indonesia, peserta retreat,” katanya.
Perwakilan dari massa kemudian memcoba melakukan negosiasi kembali. Namun massa malah mendapat makian dan bentakan.
“Intel gabungan menyampaikan informasi baru bahwa radius 1.000 meter dari tamu VVIP harus steril dari bahaya,” ujarnya.
Bahkan massa ditempatkan di dalam kuburan, tempat di mana mereka digiring agar bisa melakukan negoisasi. Negoisasi terus dicoba dilakukan namun tetap tidak ada hasil. Mereka sama sekali tidak diperbolehkan menggelar aksi di depan gerbang Akmil Magelang.
Usai melakukan salat Jumat, massa tetap ngotot melakukan aksi di seberang gerbang Akmil Magelang. Akibat penjagaan mulai kendur udai salat Jumat, massa bisa menduduki lokasi aksi di seberang gerbang Akmil.
Hingga akhirnya petugas keamanan kembali melakukan aksi represif. Bahkan, kata Enrille, beberapa massa aksi semoat mengalami luka akibat hal tersebut.
“Aksi tetap dilaksanakan dengan menyiram bendera menggunakan air kembang dengan doa, kemudian diakhiri dengan Indonesia Raya,” ujar dia.