Suara.com - Penggunaan uang negara untuk modal Daya Anagata Nusantara atau Danantara menuai kritik keras dari ekonom. Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan, dana Rp 14 ribu triliun yang disebut ada di Danatara sebenarnya tidak dalam bentuk petty cash atau dana segar.
Artinya, aset ketujuh BUMN yang tergabung di bawah Danantara bukan aset liquid yang bisa langsung digunakan untuk berinvestasi oleh Danantara. belum bisa berbuat apa-apa, karena bukan dalam bentuk dana segar atau liquid. Itu sebabnya, Danantara tetap membutuhkan PMN ratusan triliun dari pemerintah.
Di sisi lain, UU BUMN telah direvisi sehingga membuat keuangan BUMN sudah bukan lagi sebagai keuangan negara yang dipisahkan. Maka otomatis setelah Danantara menerima PMN, dana tersebut sudah bukan lagi menjadi bagian keuangan negara yang dipisahkan.
"Secara kasar boleh juga proses ini dibilang semacam "pengambilalihan anggaran negara" secara halus, yang boleh jadi untuk dikuasai oleh pihak tertentu yang mengatasnamakan BUMN," ujar Ronny dalam keterangannya, Minggu (2/3/2025).
Dia menyebut bahwa penyertaan modal negara (PMN) untuk Danantara justru tidak sama dengan sistem Sovereign Wealth Fund (SWF) atau investasi pemerintah, seperti kebanyakan di negara maju.
Baca Juga: Asetnya Tembus Rp 14 Ribu Triliun, Kenapa Danantara Masih Butuh Suntikan Uang Negara?
"Jangan terlalu berbangga diri sebagai rakyat Indonesia, ketika mengetahui bahwa kita mendadak memiliki SWF pelat merah dengan asset Rp 14 ribu triliun. Karena ujungnya akan tetap menelan anggaran negara via PMN yang kemudian mendadak tidak lagi menjadi bagian dari keuangan negara setelah menjadi PMN di Danantara," ungkap dia.
Ronny menambahkan, bahwa SWF di negara lain tidak memakan uang negara untuk biayai jenis lembaga tersebut. Melainkan dengan menyisihkan hasil eksploitasi sumber daya alam. Cara tersebut umum dilakukan pada SWF Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan RDIF Rusia.