Suara.com - Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Jumat (28/2/2025) menyetujui penjualan senjata ke Israel dengan nilai total mencapai 3 miliar dolar AS (sekitar Rp48,9 triliun). Keputusan ini disampaikan oleh Departemen Luar Negeri AS melalui sebuah pernyataan resmi. Transaksi ini mencakup berbagai jenis persenjataan, termasuk amunisi, perangkat pemandu, serta buldoser Caterpillar D9.
Departemen Luar Negeri AS telah memberitahu Kongres mengenai rencana penjualan senjata tersebut. Menurut Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS (DSCA), paket senjata ini dirancang untuk memperkuat kemampuan pertahanan Israel dalam menghadapi ancaman regional.
Paket senjata senilai 3 miliar dolar AS tersebut terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian terbesar, senilai 2,04 miliar dolar AS (sekitar Rp33,2 triliun), mencakup 35.529 bom serbaguna MK 84 atau BLU-117 serta 4.000 hulu ledak penetrator I-2000.
Selain itu, paket senilai 675,7 juta dolar AS (sekitar Rp11 triliun) meliputi bom MK 83 dan BLU-110, serta perangkat pemandu JDAM (Joint Direct Attack Munition). Pengiriman peralatan ini diperkirakan akan dimulai pada tahun 2028.
Baca Juga: AS dan Rusia Bersatu, Siap Keruk Harta Karun Mineral Tanah Langka Ukraina?
Dikutip dari Anadolu, Israel juga akan menerima buldoser Caterpillar D9R dan D9T senilai 295 juta dolar AS (sekitar Rp4,8 triliun). Pengiriman buldoser ini dijadwalkan akan dilakukan pada tahun 2027. Buldoser ini dikenal sebagai alat berat yang sering digunakan dalam operasi militer dan konstruksi di wilayah konflik.
Pemerintahan AS, dalam pernyataannya, membenarkan penjualan senjata ini sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan keamanan Israel dan menghalau ancaman regional. Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa transaksi ini sejalan dengan kepentingan nasional AS untuk mendukung sekutu strategisnya di Timur Tengah.
“Penjualan senjata ini bertujuan untuk memperkuat kemampuan pertahanan Israel, yang merupakan sekutu penting AS di kawasan tersebut. Ini juga merupakan bagian dari komitmen kami untuk menjaga stabilitas keamanan regional,” demikian pernyataan resmi dari Departemen Luar Negeri AS.
Konteks Konflik di Gaza
Kesepakatan penjualan senjata ini terjadi di tengah situasi konflik yang masih berlangsung di Gaza. Fase pertama gencatan senjata di Gaza berakhir pada Sabtu malam (27/2), sementara negosiasi untuk fase selanjutnya masih terus berlangsung di Kairo, Mesir. Gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan telah berlaku sejak bulan lalu, menghentikan sementara perang yang telah menewaskan lebih dari 48.300 orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, serta menyebabkan kehancuran besar-besaran di wilayah Gaza.
Baca Juga: Iran Kecam Ancaman Militer Israel terhadap Program Nuklirnya
Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perang yang dilancarkannya di Gaza.
Keputusan AS untuk melanjutkan penjualan senjata ke Israel menuai berbagai reaksi dari komunitas internasional. Beberapa negara dan organisasi hak asasi manusia mengkritik langkah ini, mengingat situasi kemanusiaan yang memprihatinkan di Gaza. Mereka menyerukan agar AS mempertimbangkan kembali kebijakan penjualan senjata tersebut, terutama dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah konflik.
Namun, pemerintah AS menegaskan bahwa penjualan senjata ini tidak terkait langsung dengan konflik di Gaza, melainkan lebih ditujukan untuk memperkuat pertahanan Israel dalam menghadapi ancaman keamanan regional.
Penjualan senjata senilai 3 miliar dolar AS ini semakin memperkuat hubungan strategis antara AS dan Israel. Sebagai sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel terus menerima dukungan militer dan keamanan dari Washington. Langkah ini juga menunjukkan komitmen AS untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya di kawasan yang penuh gejolak ini.
Meskipun demikian, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang peran AS dalam konflik Israel-Palestina, terutama dalam konteks upaya perdamaian dan penyelesaian konflik yang berkelanjutan.