Suara.com - Pasar keuangan Indonesia menunjukkan tren negatif di tengah ketidakpastian politik yang kian memanas. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan dalam beberapa hari terakhir, sementara nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.
Pengamat politik Rocky Gerung menilai bahwa kondisi tersebut tidak terlepas dari ketidakpastian politik yang menyelimuti pemerintahan Prabowo Subianto, terutama terkait masih kuatnya bayang-bayang rezim sebelumnya.
Rocky mengungkapkan bahwa indikator ekonomi dapat menjadi cerminan kondisi politik suatu negara.
“Kita tahu bahwa untuk mengukur ketegangan politik atau instabilitas politik, atau potensi politik memburuk, itu tidak memerlukan analis yang dalam dari para ahli politik. Tapi cukup dengan melihat figur, angka-angka, grafik di bidang ekonomi moneter atau pasar uang,” ujarnya dikutip dari Youtube Rocky Gerung Official, Jumat (28/2/2025).
Menurut Rocky, penurunan IHSG dan pelemahan rupiah merupakan sinyal bahwa pasar merespons negatif terhadap kebijakan pemerintah saat ini.
"Reaksi pasar justru negatif. Peringkat Indonesia yang diukur untuk menentukan apakah layak investasi atau tidak, makin lama makin turun. Dalam dua hari ini, kurs rupiah memburuk, dan itu penanda bahwa pasar bereaksi negatif terhadap keadaan dan kebijakan," katanya.
Rocky juga menyoroti bahwa faktor ketidakjelasan transisi pemerintahan menjadi salah satu alasan utama di balik kehati-hatian investor.
Menurutnya, investor global masih melihat kehadiran unsur-unsur dari pemerintahan Jokowi dalam kabinet Prabowo sebagai tanda bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi dan politik.
“Yang bahaya adalah kalau ada semacam sinyal bahwa pemerintah gagal menjaminkan reputasinya untuk memperoleh utang luar negeri, gagal menjaminkan reputasi politiknya karena tidak legitimasinya pemerintah karena masih ada unsur Jokowi di situ sehingga investor asing menahan diri untuk memberi sinyal positif,” tambahnya.
Baca Juga: Rocky Gerung: Prabowo Mulai Diisolasi, Cawe-cawe Jokowi Masih Kuat di Kabinet
Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan besar seperti pembentukan Danantara, sebuah badan yang disebut-sebut sebagai ‘super holding’ untuk mengelola aset negara.