Puasa Hingga Ajal Menjemput: Melihat Lebih Dekat Ritual Penganut Jain di India

Kamis, 27 Februari 2025 | 11:55 WIB
Puasa Hingga Ajal Menjemput: Melihat Lebih Dekat Ritual Penganut Jain di India
Penganut agama di India yang menjalani ritual puasa sampai wafat. (BBC Indonesia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tiga pekan setelah didiagnosis kanker serviks, Sayar Devi Modi, 88 tahun, membuat keputusan yang mengejutkan. Ia menolak berobat.

Alih-alih melawan penyakitnya, ia memilih jalan lain: berpuasa hingga akhir hayat.

"Laporan biopsi keluar 25 Juni, menunjukkan kankernya telah menyebar," kenang cucunya, Pranay Modi.

"Pada 13 Juli, ia berdoa dan makan sup. Keesokan harinya, ia menelepon kami dan mengabarkan niatnya menjalani santhara."

Baca Juga: 5 Tips Bukber Hemat Selama Bulan Ramadhan, Dijamin Anti Boncos Sebelum Lebaran!

Santhara, atau sallekhana, adalah praktik di kalangan penganut Jain. Mereka menolak makan dan minum, menerima kematian sebagai bagian dari perjalanan spiritual.

Tidak semua Jain melakukannya. Hanya sekitar 200 hingga 500 orang setiap tahun yang memilih jalan ini.

Namun, praktik ini menuai perdebatan. Sebagian menilainya sebagai bentuk bunuh diri. Bahkan, petisi untuk melarang santhara kini menunggu putusan Mahkamah Agung India.

Apa Itu Jainisme

Jainisme berakar pada prinsip antikekerasan. Ajaran yang telah bertahan lebih dari 2.500 tahun ini tidak mengenal Tuhan, tetapi meyakini adanya jiwa yang murni, kekal, dan mahatahu.

Baca Juga: Jadwal Libur Awal Puasa Ramadhan 2025 untuk Anak Sekolah dan Cuti Orang Kantoran

Para penganut Jain menjalani hidup sederhana. Hampir semuanya vegetarian. Mereka menolak kekerasan, menekankan moralitas, dan menjauhi kenyamanan duniawi.

Di India, ada sekitar lima juta penganut Jain. Mereka dikenal berpendidikan tinggi dan banyak yang berasal dari kalangan kaya.

Menurut Pusat Penelitian Pew, sepertiga orang dewasa Jain memiliki gelar universitas—angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi umum India, yang hanya 9 persen.

Di tengah masyarakat, pemuka agama Jain dihormati. Perdana Menteri Narendra Modi bahkan meminta restu dan mengungkapkan belasungkawa atas wafatnya Acharya Shri Vidyasagar Ji Maharaj.

Dalam unggahannya di X, ia menyebut kematian Acharya sebagai "kehilangan besar bagi negara."

Acharya meninggal pada usia 77 tahun, setelah tiga hari berpuasa. Ribuan orang menghadiri pemakamannya.

Bagi umat Jain, mengakhiri hidup melalui puasa bukanlah bunuh diri atau eutanasia.

“Sallekhana atau santhara berbeda karena tidak melibatkan dokter atau suntikan mematikan,” jelas Steven M. Vose, pakar Jainisme dari Universitas Colorado-Denver, kepada BBC.

Praktik ini bukan hal baru. Sejarah mencatatnya sejak abad ke-6. Prof. Vose menyebutnya sebagai "melepaskan tubuh"—membiarkan diri perlahan layu hingga mencapai akhir.

Empat Keyakinan Santhara

Karma, jiwa, kelahiran kembali, dan keselamatan—empat keyakinan yang menjadi inti santhara.

Bagi sebagian penganut Jain, santhara adalah jalan yang dipilih ketika kematian terasa semakin dekat. Sayar Devi Modi, misalnya, memutuskan untuk berpuasa hingga ajal menjemput setelah divonis menderita kanker yang tak bisa disembuhkan.

Dalam video yang diambil saat menjalani puasa, Sayar Devi tampak mengenakan sari putih. Mulutnya tertutup selembar kain persegi—tradisi yang dijalankan oleh penganut Jain.

"Dia tenang, sadar, dan berbicara sampai akhir," kenang cucunya, Pranay Modi.

Hari-hari terakhirnya tak seperti kematian pada umumnya. Rumah leluhur mereka di Kabridham, India, justru terasa meriah. Keluarga, saudara, teman, tetangga, hingga orang asing datang, memberi penghormatan, dan menerima berkat dari Sayar.

Tak hanya itu, di tengah kelemahan tubuhnya, ia tetap melantunkan doa Jain yang berlangsung selama 48 menit.

"Saya yakin dia merasakan sakit yang luar biasa setelah berhenti berobat. Tapi dia tak pernah mengeluh. Justru tampak berseri dan damai," ujar Modi.

Anak-anak, cucu, hingga cicitnya berkumpul, menyaksikan saat Sayar Devi menghembuskan napas terakhir.

"Sulit bagi saya melihatnya pergi dengan cara seperti ini," kata Pranay.

"Tapi kami menghormati keputusannya. Saya yakin dia kini berada di tempat yang lebih baik," tambahnya.

Tak Selalu Berakhir Damai

Santhara tak selalu berakhir dengan ketenangan.

Prof. Miki Chase, yang meneliti praktik ini dalam disertasi doktoralnya, telah menyaksikan puluhan puasa yang berujung kematian. Tidak semuanya berjalan damai.

"Seorang pria dengan kanker stadium akhir menjalani santhara dan mengalami kesakitan luar biasa. Keluarganya bangga dengan keputusannya dan mendukung sumpahnya. Tapi di saat yang sama, mereka juga tersiksa melihatnya menderita," ujar Chase, asisten profesor Studi Jain di Universitas Wisconsin-Madison.

Namun, ada pula yang menemukan kedamaian dalam santhara. Chase pernah melihat seorang perempuan dengan kanker stadium akhir yang tampak lebih tenang setelah mulai berpuasa.

"Keluarganya merasa bertanggung jawab untuk menjaga tekadnya tetap kuat. Mereka menyanyikan lagu-lagu rohani, seolah memberi semangat di saat-saat terakhirnya," tuturnya.

Tetapi, menyaksikan seseorang perlahan meninggal karena kelaparan bukanlah hal yang mudah.

"Detik-detik terakhir bisa sangat mengerikan," kata Prof. Steven M. Vose.

"Orang yang berpuasa mungkin meminta makanan atau air saat tubuhnya berjuang bertahan. Namun, permintaan itu sering kali tidak dikabulkan karena dianggap sebagai bagian dari proses menuju akhir."

Biksu-biksu Digambar, yang menjalani hidup tanpa pakaian sebagai bentuk pelepasan duniawi, juga meninggal dengan cara ini.

Foto-foto mereka beredar di media sosial, memperlihatkan wajah cekung dan tulang rusuk menonjol—tanda kelaparan dan dehidrasi yang ekstrem.

Sebagian besar penganut Jain yang memilih santhara adalah perempuan.

Menurut Prof. Vose, hal ini terjadi karena perempuan dianggap lebih saleh dan cenderung hidup lebih lama dari pria.

"Santhara dipandang sebagai pencapaian spiritual yang luar biasa," tambah Prof. Chase.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI