Suara.com - Pemerintah Mesir dengan tegas menolak usulan yang diajukan oleh pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, yang menyarankan agar Mesir mengambil alih administrasi Jalur Gaza setelah perang berakhir. Kementerian Luar Negeri Mesir menyebut gagasan tersebut sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima dan bertentangan dengan kebijakan lama Mesir serta dunia Arab terhadap konflik Palestina-Israel.
"Setiap gagasan atau proposal yang menyimpang dari prinsip dasar sikap Mesir dan Arab terhadap Gaza… ditolak dan tidak dapat diterima," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tamim Khallaf, seperti dikutip oleh kantor berita resmi MENA, Rabu (27/2).
Khallaf menegaskan bahwa segala upaya yang mengabaikan pembentukan negara Palestina merdeka hanyalah "solusi setengah hati" yang justru akan memperpanjang konflik alih-alih menyelesaikannya.

Menurutnya, Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur yang dianeksasi Israel, adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Palestina yang harus berada di bawah kedaulatan dan pemerintahan penuh Palestina.
Baca Juga: Donald Trump Bagikan Video AI 'Gaza 2025' yang Penuh Kontroversi
Lapid, dalam pernyataannya pada Selasa (26/2), mengusulkan agar Mesir mengelola Gaza selama minimal delapan tahun setelah perang usai, dengan imbalan keringanan utang dalam jumlah besar.
Namun, Mesir menegaskan bahwa mereka tidak akan menerima gagasan yang berupaya memindahkan atau menempatkan kembali 2,4 juta warga Palestina dari Gaza ke wilayahnya, menyebutnya sebagai "garis merah."
Sikap tegas Mesir ini juga mencerminkan penolakannya terhadap rencana kontroversial yang sebelumnya diajukan oleh Presiden AS Donald Trump, yang mengusulkan agar Amerika Serikat "mengambil alih" Gaza setelah populasinya direlokasi ke Mesir atau Yordania.
Mesir, bersama negara-negara Arab lainnya, memimpin upaya diplomatik untuk menentang gagasan tersebut, yang dinilai sebagai upaya untuk mengubah peta demografi Palestina secara permanen.
Sejak dimulainya perang terbaru di Gaza, Mesir telah berperan aktif dalam upaya mediasi dan bantuan kemanusiaan, tetapi menegaskan bahwa solusi jangka panjang harus tetap mengarah pada pembentukan negara Palestina yang berdaulat.
Baca Juga: Serangan Udara Terbaru Israel ke Wilayah Suriah Selatan, Targetkan Area Al-Kiswah