Pemeranan yang dianggap tidak merata dalam jabatan non-militer, dan berbagai residu politik masa lalu, dimana sebelumnya Polri adalah bagian dari TNI.
Selama ini, penanganan konflik dan ketegangan di akar rumput hanya diselesaikan secara simbolis dan di tingkat elit.
Kondusivitas dan sinergi artifisial selalu didengungkan oleh TNI-Polri, tetapi tidak menyelesaikan akar persoalannya, termasuk abai membangun karakter dan mentalitas patriotik anggota.
"Penanganan konflik dan ketegangan secara substansial dan fundamental harus menyasar kepatuhan pada disiplin bernegara dan berdemokrasi, yang meletakkan supremasi sipil sebagai pemimpin politik," katanya.
Masing-masing institusi, kata Hendardi, sesuai dengan desain konstitusional menjalankan perannya, tanpa melampaui batas-batas tugas dan fungsi yang bukan merupakan mandat konstitusionalnya.
Tuntutan peningkatan disiplin dalam berdemokrasi juga dialamatkan pada politisi-politisi sipil yang tidak percaya diri, tanpa melibatkan TNI dan Polri. Politisi tidak perlu menggoda TNI-Polri memasuki arena yang bukan merupakan tugas dan fungsinya.
Konflik dan ketegangan TNI-Polri, seharusnya menjadi pembelajaran dan harus menjadi pedoman bagi DPR yang sedang berencana merevisi UU TNI, UU Polri, UU Kejaksaan, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) agar tetap patuh dan konsisten pada desain konstitusional dan ketatanegaraan yang sudah menggariskan tugas dan fungsi masing-masing institusi, sebagaiman selama ini berjalan.
"Jangan mencoba merekayasa pasal yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945, hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu, yang justru menimbulkan kekacauan konstitusional dan instabilitas politik baru," katanya.
Baca Juga: Usia Pensiun di RUU TNI Jadi 60 Tahun, Wairjen: Kami Menyetarakan dengan ASN