Namun, sejumlah tantangan masih menghadang pelaksanaan RAN PE.
Koordinasi antar-lembaga masih menghadapi kendala birokrasi, sementara regulasi ruang digital belum cukup efektif dalam membendung penyebaran ideologi ekstremis.
"Keterlibatan LSM dan pemimpin agama dalam program pemerintah masih terbatas karena kurangnya anggaran dan kekhawatiran campur tangan negara," ujarnya.
Reintegrasi mantan teroris juga menjadi isu kontroversial, dengan kekhawatiran terhadap potensi risiko keamanan.
Selain itu, faktor sosial ekonomi dan politik turut mempengaruhi keberhasilan program ini.
"Kesenjangan ekonomi dapat membuat masyarakat tertentu lebih rentan terhadap radikalisasi. Ketegangan politik dan efisiensi anggaran pada 2025 juga dapat berdampak pada pendanaan program," tambahnya.
Sebagai rekomendasi, BNPT mendorong penguatan koordinasi lintas sektor, pendekatan berbasis komunitas, kontra-radikalisasi digital, serta rehabilitasi dan reintegrasi yang lebih efektif.
"Kita juga akan banyak melibatkan perempuan. Kenapa sampai segitunya dan sangat detail? Karena kita sudah di spotlight internasional dan harus diakumulasi. Evaluasi ini sangatlah penting," katanya.
Dengan tantangan yang ada, kolaborasi multipihak dan adaptasi strategi menjadi kunci keberhasilan implementasi RAN PE dalam jangka panjang.
Baca Juga: BNPT Perkuat Strategi Anti-Terorisme, Gandeng Masyarakat Sipil di RAN PE Fase 2
Reporter : Kayla Nathaniel Bilbina