Sartika juga memperingatkan bahwa dominasi BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta yang bergerak di sektor batu bara berpotensi menghambat transisi ke energi terbarukan.
"Perguruan tinggi akan mengalami kesulitan mendorong penelitian terkait teknologi energi terbarukan karena keterbatasan sumber daya atau konflik kepentingan dengan mitra industri yang tidak mendukung transisi energi," katanya.
Sementara itu, Dosen Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyebut ada dua motif utama di balik revisi UU Minerba. Pertama, regulasi ini dianggap sebagai 'tukar tambah' berupa izin konsesi tambang yang diubah menjadi perguruan tinggi sebagai penerima manfaat bisnis pertambangan. Tujuannya adalah untuk menundukkan kampus.
Kedua, kampus dipaksa menjadi alat legitimasi industri ekstraktif yang merusak lingkungan.
"Kampus pada akhirnya dijadikan mesin reproduksi pengetahuan yang seolah-olah menunjukkan industri pertambangan yang mematikan ini bermanfaat di mata publik," ujar Herdiansyah.
Kembali ke Era Izin Tambang Tak Terkendali
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menilai revisi UU Minerba akan membawa Indonesia kembali ke era izin tambang yang tidak terkendali.
Pasal-pasal baru memberikan ruang bagi pemberian WIUP dan WIUPK secara prioritas kepada koperasi dan UMKM.
Menurut Aryanto, pemerintah dan DPR seolah tidak belajar dari pengalaman buruk pengelolaan pertambangan 10 tahun lalu.
Baca Juga: Aturannya Bakal Tertulis di PP, Kampus yang Menerima Manfaat Tambang Bisa Kena Audit BPK
Ribuan izin tambang saat itu tidak memenuhi kewajiban keuangan seperti pajak, royalti, dan landrent, serta kewajiban lingkungan seperti AMDAL, reklamasi, dan pascatambang.