Suara.com - Dosen Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, menilai perubahan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kebebasan akademik, dan memperkuat kontrol rektor tanpa transparansi.
Sebelumnya, Ubedilah diketahui diberhentikan dari jabatan Koordinator Program Studi UNJ tanpa alasan yang jelas.
Pemberhentian ini diduga berkaitan dengan kritiknya terhadap pemerintahan, serta laporan dugaan korupsi yang diajukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya.
Ubedilah mengaku sempat mendapatkan peringatan dari sejumlah aktivis bahwa kritiknya dapat mengkhawatirkan pemerintahan.
Baca Juga: Ubedilah Badrun Kritik Kebijakan Kampus Mengelola Tambang: Makin Ngaco dan Aneh
Ia juga menuturkan bahwa Rektor UNJ kerap mendapatkan telepon dari 'partai cokelat', istilah yang ia gunakan untuk menyebut kepolisian.
"Saya menjadi kepala departemen itu dari musyawarah dosen karena ada target-target unggul. Saya semangat ingin membangun prodi ini. Kinerja saya dinilai di atas reputasi oleh dekan. Jadi situasi ini lagi sehat-sehatnya," ujar Ubedilah dikutip dari Abraham Samad Speak Up, Selasa (18/2/2025).
Namun, situasi berubah ketika dirinya tiba-tiba dipanggil oleh dekan dan diberitahu bahwa akan ada pergantian Koorprodi, seiring perubahan status kampus menjadi PTN-BH.
Rektor tetap bersikukuh mencopotnya meskipun dekan telah berusaha mempertahankan.
Ubedilah mengkritik proses pergantiannya yang dianggap tidak transparan dan berpotensi melanggar prinsip good university governance.
Baca Juga: Akademisi UNJ Ubedilah Badrun Kritik PTN-BH: Bungkam Dosen, Riset Minim Dampak
Ia bahkan baru mengetahui pengganti jabatannya pada hari pelantikan, tanpa ada undangan atau serah terima jabatan secara resmi.
"Saya tidak diundang. Biasanya di pelantikan ada serah terima jabatan, tapi ini tidak ada. Pelantikan berjalan, dan saya baru tahu siapa pengganti saya satu jam sebelum acara dimulai," ungkapnya.
Ia menyoroti adanya potensi nepotisme di lingkungan kampus setelah mengetahui bahwa istri rektor diangkat sebagai Koorprodi di fakultas yang berbeda.
"Itu kan hal yang tidak menunjukkan good university governance. Mestinya ada transparansi, akuntabilitas, merit system," kata Ubedilah.
Ubedilah menyoroti bahwa perubahan status kampus menjadi PTN-BH berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kebebasan akademik.
Menurutnya, otoritas penuh yang diberikan kepada rektor dalam sistem PTN-BH harus dievaluasi agar tidak menjadi alat pembungkaman terhadap akademisi yang kritis.
"Tafsir PTN-BH oleh kampus itu keliru. Seolah-olah PTN-BH itu seperti BUMN dan rektor seperti komisaris utama yang punya otoritas luas. Itu salah, karena kampus adalah perguruan tinggi yang harus menumbuhkan tradisi akademik dan sikap kritis," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dosen bukan hanya bertugas mengajar dan meneliti, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial untuk menyuarakan ketidakadilan.
"Dosen itu ASN, bukan digaji oleh presiden, tapi oleh rakyat. Maka ketika rakyat menderita, dosen harus bersuara dan berpihak pada rakyat berbasis riset dan data yang dapat dipertanggungjawabkan," ujar Ubedilah.
Ubedilah menilai, apabila situasi ini dibiarkan, tradisi kritis di dunia akademik akan semakin tergerus.
Ia mengingatkan bahwa inovasi tidak mungkin lahir tanpa adanya sikap kritis.
"Kalau terjadi pembungkaman sistemik yang luar biasa, kita sesungguhnya sedang membunuh masa depan republik. Tidak ada inovasi dan kreativitas, semakin terbelakang," katanya.
Kasus Ubedilah Badrun menjadi refleksi bagaimana perubahan status PTN-BH dapat membawa konsekuensi bagi kebebasan akademik.
Evaluasi terhadap penerapan sistem ini menjadi penting agar kampus tetap menjadi ruang yang aman bagi pemikiran kritis dan intelektual yang berpihak pada kepentingan publik.
Reporter : Kayla Nathaniel Bilbina