Pasal Penyelidikan Hilang dalam RUU KUHAP, Pakar: Ketimpangan Serius

Chandra Iswinarno Suara.Com
Rabu, 19 Februari 2025 | 02:00 WIB
Pasal Penyelidikan Hilang dalam RUU KUHAP, Pakar: Ketimpangan Serius
Pakar hukum tata negara yang juga Guru besar UIN KHAS Jember Prof M Noor Harisudin. (ANTARA/Dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hilangnya pasal penyelidikan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang rencananya akan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Maret 2025 dinilai bakal membuat ketimpangan serius.

Pernyataan tersebut disampaikan Guru Besar Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember Prof M Noor Harisudin.

"Kami curiga dengan RUU KUHAP yang diduga mengandung ketimpangan serius karena alih-alih menjadi penyempurnaan, maka kitab undang-undang yang memuat peran aparat penegak hukum secara nyata-nyata mengandung potensi ketidaksetaraan peran dan kewenangannya," katanya dikutip Antara, Selasa (18/2/2025).

Menurutnya, hilangnya pasal penyelidikan dalam RUU KUHAP menjadi krusial dalam rangka pelayanan dan menjaga hak asasi masyarakat (HAM) publik.

Baca Juga: Revisi UU KUHAP Disepakati Jadi RUU Usul Inisiatif DPR

"Dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP dijelaskan bahwa penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang itu," tuturnya.

Tujuan penyelidikan, menurutnya, untuk mengumpulkan bukti permulaan agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan, sehingga penyelidikan merupakan tindak pengusutan sebagai usaha dan menemukan keterangan dan bukti-bukti yang diduga merupakan tindak pidana.

"Penyelidikan merupakan bagian dari ketatnya proses acara di pengadilan, namun tempo penyelidikan yang tanpa ada batasan waktu dalam KUHAP (1981) juga perlu dikritik, sehingga usulan limitasi waktu penyelidikan yang proporsional dalam RUU KUHAP menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum para orang yang berperkara," katanya.

Selain itu, ia juga menyoroti peran dominus litis jaksa dalam hirarki yang menempatkan jaksa sebagai aparat penegak hukum dengan berbagai kewenangan ganda, yakni penuntut dan juga penyidik yang terlihat dalam beberapa pasal RUU KUHAP.

"Tidak hanya itu, dalam Pasal 30 b juga mengatur tentang kewenangan jaksa melakukan penyadapan, sehingga sebelumnya kejaksaan hanya bisa memproses hukum pidana khusus yang berstatus extraordinary crime, korupsi atau HAM, maka dengan RUU KUHAP itu maka jaksa juga memegang domain penyidikan pidana umum," ujarnya.

Baca Juga: KUHAP Baru Belum Berpihak Pada Korban, Masyarakat Sipil Desak Revisi Menyeluruh

Menurutnya, kewenangan yang berlebih pada salah satu APH akan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power karena dengan kewenangan yang ada selama ini jaksa dan juga APH lainnya sudah banyak terjerat kasus, apalagi nanti jaksa punya kewenangan berlebihan.

"Saya berharap DPR tidak terburu-buru untuk mengesahkan RUU KUHAP dan wakil rakyat tersebut harus mendengar suara rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan," katanya.

Ia menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan undang-undang juga sudah dijamin dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Pengesahan RUU KUHAP itu nantinya dikhawatirkan akan kembali menjadi mundur ke jaman Herziene Inlandsch Reglement (HIR) zaman Belanda yang menempatkan polisi sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat)," ujarnya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI