Suara.com - Pameran 'Bara Juang Bara-Baraya: Melawan Penggusuran dan Madia Tanah' menghadirkan berbagai cerita pengalaman warga menghadapi penggusuran paksa, sabotase, hingga kekerasan aparat.
Selain menampilkan pameran arsip dokumentasi dan ekspresi perjuangan, pameran ini juga menyediakan sesi diskusi dengan warga yang terdampak dari penggusuran mafia tanah.
Warga Pancoran, Shanti, mengungkapkan awal mula isu penggusuran yang muncul pada 2019. Awalnya, warga tidak mendapatkan pemberitahuan resmi.
“RT kami bekerja sama dengan pihak Pertamina untuk menggusur diam-diam. Jadi pintu ke pintu pada ditakuti. Yang takut, langsung pindah atau merubuhkan bangunannya tanpa bertanya ke kanan-kiri,” ujarnya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2025).
Kesadaran untuk melawan muncul setelah melihat dampak langsung penggusuran terhadap sesama warga.
“Ada sepasang suami istri tua. Istrinya keterbelakangan mental. Setelah digusur, mereka tidur di gerobak. Sebulan setelah penggusuran, suaminya meninggal. Saya tergerak, loh tidak bisa begini,” ungkapnya.
Konflik pun memuncak ketika warga mencoba merebut kembali wilayah yang telah dikuasai Pertamina.
“Kami diserang tengah malam karena sorenya kami merebut kembali apa yang diduduki Pertamina. Lawan kami itu Brimob, Pemuda Pancasila, dan bodyguard yang disewa. Kami ditembaki gas air mata kedaluwarsa. Banyak yang sesak napas dan luka-luka,” ujar Shanti.
Penggusuran terus berlanjut hingga rumah Shanti terbakar dalam insiden yang diduga sabotase.
Baca Juga: Warga Bara-Baraya Mengadu ke Komnas Perempuan, Diintimidasi Aparat: Hak Kami Dirampas!
“Desember mereka berusaha sabotase Pancoran dengan cara membakar, dan rumah saya habis. Saya kena api, terluka,” katanya.