'Aparat Merampas Hak Kami!' Jeritan Hati Warga Korban Gusuran di Jakarta, Bogor, dan Makassar

Chandra Iswinarno Suara.Com
Selasa, 18 Februari 2025 | 06:00 WIB
'Aparat Merampas Hak Kami!' Jeritan Hati Warga Korban Gusuran di Jakarta, Bogor, dan Makassar
Warga korban penggusuran dari berbagai wilayah berdiskusi di tengah ajang Pameran “Bara Juang Bara-Baraya: Melawan Penggusuran dan Madia Tanah” di Gedung YLBHI Jakarta, Senin (18/2/2025). [Suara.com/Kayla]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pameran 'Bara Juang Bara-Baraya: Melawan Penggusuran dan Madia Tanah' menghadirkan berbagai cerita pengalaman warga menghadapi penggusuran paksa, sabotase, hingga kekerasan aparat.

Selain menampilkan pameran arsip dokumentasi dan ekspresi perjuangan, pameran ini juga menyediakan sesi diskusi dengan warga yang terdampak dari penggusuran mafia tanah.

Warga Pancoran, Shanti, mengungkapkan awal mula isu penggusuran yang muncul pada 2019. Awalnya, warga tidak mendapatkan pemberitahuan resmi.

“RT kami bekerja sama dengan pihak Pertamina untuk menggusur diam-diam. Jadi pintu ke pintu pada ditakuti. Yang takut, langsung pindah atau merubuhkan bangunannya tanpa bertanya ke kanan-kiri,” ujarnya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2025).

Baca Juga: Warga Bara-Baraya Mengadu ke Komnas Perempuan, Diintimidasi Aparat: Hak Kami Dirampas!

Kesadaran untuk melawan muncul setelah melihat dampak langsung penggusuran terhadap sesama warga.

“Ada sepasang suami istri tua. Istrinya keterbelakangan mental. Setelah digusur, mereka tidur di gerobak. Sebulan setelah penggusuran, suaminya meninggal. Saya tergerak, loh tidak bisa begini,” ungkapnya.

Konflik pun memuncak ketika warga mencoba merebut kembali wilayah yang telah dikuasai Pertamina.

“Kami diserang tengah malam karena sorenya kami merebut kembali apa yang diduduki Pertamina. Lawan kami itu Brimob, Pemuda Pancasila, dan bodyguard yang disewa. Kami ditembaki gas air mata kedaluwarsa. Banyak yang sesak napas dan luka-luka,” ujar Shanti.

Penggusuran terus berlanjut hingga rumah Shanti terbakar dalam insiden yang diduga sabotase.

Baca Juga: Teror dan Intimidasi Hantui Warga Bara-Baraya Makassar, Ronda Malam Dilakukan Antisipasi Eksekusi Paksa

“Desember mereka berusaha sabotase Pancoran dengan cara membakar, dan rumah saya habis. Saya kena api, terluka,” katanya.

Di Makassar, warga Bara-Baraya menghadapi ancaman penggusuran sejak 2016.

Salah satu warga Bara-Baraya, Eta, menjelaskan bagaimana awalnya mereka menerima edaran dari Koramil untuk mengosongkan rumah mereka.

“Kami langsung bentrok sama Koramil, sempat ada adu mulut, dorong-dorongan. Sekarang sudah bergulir selama delapan tahun, dan kami tinggal menunggu surat eksekusi,” ujar Eta.

Warga korban penggusuran dari berbagai wilayah berdiskusi di tengah ajang Pameran “Bara Juang Bara-Baraya: Melawan Penggusuran dan Madia Tanah” di Gedung YLBHI Jakarta, Senin (18/2/2025). [Suara.com/Kayla]
Warga korban penggusuran dari berbagai wilayah berdiskusi di tengah ajang Pameran “Bara Juang Bara-Baraya: Melawan Penggusuran dan Madia Tanah” di Gedung YLBHI Jakarta, Senin (18/2/2025). [Suara.com/Kayla]

Warga Bara-Baraya lainnya, Lucy, ikut menimpali bagaimana mereka melakukan ronda malam untuk berjaga dari upaya penggusuran paksa.

“Kami setiap malam ronda. Kalau malam sering didatangi aparat. Kami selalu ditemani mahasiswa. Tanpa mereka, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkap Lucy.

Hal serupa juga dialami oleh warga Rumpin, Bogor. Salah satu warga Rumpin, Neneng, mengungkapkan bahwa ia menghadapi penggusuran sejak 2007.

Ia menyebutkan bagaimana aparat, terutama tentara, datang tanpa pemberitahuan dan mulai menggusur kampung mereka yang berbatasan dengan BSD.

“Kami aksi menolak. Setiap mereka sedang briefing, kami datang. Awalnya kami pikir aparat selalu menjaga rakyat, tapi mereka merampas hak-hak kami,” kata Neneng.

Perlawanan yang mayoritas dilakukan perempuan mendapat respons represif.

“Kami juga turut turun, kebanyakan perempuan. Disetrum. Yang laki-laki ditelanjangi,” ujar Neneng.

Penggusuran ini juga dialami oleh warga Kampung Bayam, Jakarta Utara, yang kehilangan tempat tinggal hingga ditangkap karena melawan.

Mereka sepakat bahwa perlawanan warga bukan hanya tentang mempertahankan tempat tinggal, tetapi juga tentang mempertahankan hak atas tanah dan kehidupan yang layak.

“Kalau sendiri mungkin tidak bisa, tapi kalau bersama-sama kita bisa merebut tempat kita dari mafia tanah,” tegas Shanti.

Pameran Bara Juang Bara-Baraya, yang berlangsung hingga 21 Februari 2025, tidak hanya menyoroti perjuangan warga Bara-Baraya dalam menghadapi penggusuran, tetapi juga menjadi ruang bagi berbagai elemen masyarakat untuk bersatu melawan mafia tanah yang merampas hak-hak warga.

Reporter : Kayla Nathaniel Bilbina

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI