Suara.com - Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri telah memeriksa sejumlah saksi terkait dugaan pemalsuan sertifikat di lokasi pagar laut di perairan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Dirtipdidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, sejumlah saksi yang diperiksa diantaranya yakni ketua dan anggota eks panitia adjudikasi PTSL atas penerbitan 93 sertifikat hak milik (SHM) di Desa Sagarajaya.
Kemudian para pejabat kantor pertanahan Kabupaten Bekasi dan pegawai pada Inspektorat Jenderal Kementerian ATR BPN.
![Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro (kiri) terkait dugaan pelanggaran pemilu di Kuala Lumpur. (Suara.com/Dea)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/02/27/61072-direktur-tindak-pidana-umum-dirtipidum-bareskrim-polri-brigjen-djuhandani-rahardjo-puro.jpg)
“Dari hasil pemeriksaan saat ini, diperoleh data dan fakta bahwa diduga modus operandi yang dilakukan oleh para oknum atau pelaku adalah mengubah data 93 SHM,” kata Djuhandhani, saat di Mabes Polri, Jumat (14/2/2025).
Jika dari analisa sementara, lanjut Djuhandhani, pemalsuan sertifikat terkait kasus dugaan pemalsuan sertifikat di Bekasi berbeda dengan kasus pagar laut di Tangerang.
Diduga pemalsuan sertifikat di Bekasi dilkukan dengan cara mengubah nama pemegang hak dan merubah data objek atau lokasi.
![Personel Polisi Khusus Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau kecil (Polsus PWP3K) Ditjen PSDKP memasang spanduk penghentian kegiatan pemagaran laut di pesisir Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/2/2025). [ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/rwa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/11/96010-pagar-laut-pagar-laut-bekasi-pagar-laut-bekasi-dibongkar.jpg)
Sebelumnya, objek tanah yang dipalsukan berada di daratan. Namun, menjadi berlokasi di laut, dengan jumlah yang lebih luas dibandingkan dengan aslinya.
“Kalau kami melihat dari apa yang kita laksanakan penyidikan terkait di kohod dengan di Bekasi itu ada perbedaan. Jika pada kasus kohod kita melihat bahwa pemalsuan dokumen dilakukan pada saat sebelumnya atau saat proses penerbitan sertifikat,” kata Djuhandhani.
“Sedangkan yang terjadi di Bekasi adalah pemalsuan dilakukan pasca-terbit sertifikat asli atas nama pemegang hak yang sah, kemudian diubah sedemikian rupa menjadi nama pemegang hak yang baru, yang tidak sah, berikut perubahan data luasan dan lokasi objek sertifikat,” imbuhnya.
Pemalsuan dilakukan, dengan cara merubah sertifikat tanah setelah diterbitkan. Biasanya perubahan dilakukan dengan alasan revisi. Namun dalam revisi tersebut dilakukan perubahan koordinat dan nama pemilik.
“Jadi sebelumnya sudah ada sertifikat, kemudian diubah dengan alasan revisi, di mana dimasukkan baik itu perubahan koordinat dan nama. Sehingga ada pergeseran tempat dari yang tadinya di darat bergeser ke laut, dengan luasan yang lebih luas, itu yang pertama,” pungkasnya.