Surat Terbuka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Komisi III DPR, Desak 8 Poin Krusial Diperhatikan di RUU KUHAP

Senin, 10 Februari 2025 | 17:15 WIB
Surat Terbuka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Komisi III DPR, Desak 8 Poin Krusial Diperhatikan di RUU KUHAP
Koalisi Masyarakat Sipil Desak 8 Poin Krusial Diperhatikan di RUU KUHAP. (Suara.com/Bagaskara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil mengirimkan surat terbuka kepada Komisi III DPR RI terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHAP tahun 2025, masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Surat terbuka ini juga ditujukan kepada Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI.

“Menurut kami penting untuk menyampaikan apa yang kemudian menjadi masukan masyarakat sipil, apa yang menjadi perhatian bersama dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi,” kata anggota LBH Jakarta, Fadhil Alfathan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025).

Dalam surat ini, Fadhil menyampaikan, jika Koalisi Masyarakat Sipil memberikan sejumlah sorotan hingga rekomendasi kepada Komisi III DPR RI agar melakukan beberapa hal untuk menyerap aspirasi masyarakat terkait pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Setidaknya berdasarkan pemantauan, laporan, dan hasil kajian berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi, kami menilai KUHAP yang sudah diberlakukan sejak Desember 1981, sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman maupun kebutuhan terkait dengan perkembangan sistem peradilan pidana,” ujarnya.

Menurut dia, sejak beberapa tahun lalu atau dekade lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melakukan perubahan terhadap substansi yang ada terkait dengan hukum acara pidana di dalam KUHAP.

Begitu juga puluhan undang-undang yang ada saat ini sudah mengatur secara tersendiri perihal hukum acara, yang mana itu belum ada penyelarasan lebih lanjut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

“Kemudian terkait dengan berbagai instrumen hukum internasional di bidang hukum pidana maupun hak asasi manusia, belum ada pengadopsian yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR RI untuk menindaklanjutinya ke dalam pembaruan hukum pidana,” katanya.

Selain itu, ada urgensi pembaruan KUHAP mengingat pemberlakuan KUHP akan operasional pada 2026. Menurutnya, implementasi hukum acara pidana sudah berada dalam batas-batas yang sangat mengkhawatirkan.

“Banyak sekali pelanggaran hukum acara yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, penyelewengan-penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan yang berwujud dalam kriminalisasi, penyiksaan, perilaku-perilaku koruptif maupun penyelewengan-penyelewengan lain, yang ironisnya dilakukan atas nama hukum acara pidana atau penegakan hukum pidana. Sehingga, bagi kami penting untuk kemudian menyampaikan apa yang menjadi masukan kami,” tuturnya.

Baca Juga: Bercermin dari Kericuhan Razman Vs Hotman di Sidang, KY Minta Revisi KUHAP Perkuat Soal Perlindungan Hakim

Maka dari itu, Fadhil mengatakan, setidaknya ada 8 poin krusial yang seharusnya masuk ke dalam substansi pembahasan pembaruan KUHAP. Pertama, soal peneguhan kembali prinsip due process of law. “Kemudian ada penguatan dan penjaminan terhadap hak asasi manusia dan juga penguatan sistem check and balances gitu ya,” jelas Fadhil.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI