Suara.com - Para pegawai mitra PT Pos Indonesia yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Aspek Indonesia mengadukan nasib mereka ke Komisi VI DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025).
Mereka diundang untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI, di Kompleks Parlemen.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Aspek Indonesia, Abdul Gofur, menyampaikan kekinian para pekerja mitra mengeluhkan soal kontrak kerja. Status kemitraan ini juga dipertanyakan.
"PT Pos Indonesia adalah salah satu perusahaan di bawah kementerian BUMN, nah regilasi apa yang mengatur status kemitraan di BUMN?," kata Gofur dalam rapat.
Baca Juga: SIG Catatkan 25 Persen Top Talent Karyawan Perempuan
"Dalam kontrak kerja temen-temen dengan PT Pos Indonesia isi kotrak kerja tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Lalu saat kontrak diputus pun tidak ada satu rupiah pun didapat pekerja PT Pos Indonesia walaupun teman-temean sudah berkerja lebih dari lima tahun," sambungnya.
Menurutnya, kekinian tercatat ada lebih 15 ribu orang pegawai yang menjadi mitra PT Pos. Hal itu menjadikan 80 persen binsi PT Pos Indonesia dikerjakan para pegawai mitra tersebut.
Sementara itu, menurutnya, para pegawai juga disebut tak bisa libur bekerja. Lantaran harus memenuhi target jam kerja 200 jam.
"Tidak memiliki waktu libur. Untuk bekerja 200 jam satu bulan jadi bisa dikatakan mustahil temen temen dapat waktu libur bahkan apalagi cuti tidak mungkin," ujarnya.
Belum lagi upah juga disebut belum layak, lantaran pegawai hanya mendapat gaji Rp2,500,000 paling besar setiap bulannya.
Baca Juga: Begini Cara Perusahaan BUMN Dorong Pembangunan Berkelanjutan
"Upah yang teman-teman dapatkan pun itu memang kalau jauh dari UMP sangat jauh dari UMP," katanya.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan, jika para pegawai mitra ini tidak didaftarkan jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenagakerjaan.
"Dimana kalau kita mlihat resiko atau resiko kecelakaan kerja dari temen temen yang memang aktivitasnya sangat tinggi di lapangan mengantar paket mengantar surat tentu resiko kecelakaan sangat tinggi tapi mereka tidak terlindungi dengan jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan," pungkasnya.