Suara.com - Kremlin pada Rabu (7/2) menepis pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang menyatakan kesiapannya untuk mengadakan perundingan langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebut tawaran Zelenskyy itu sebagai "kata-kata kosong" yang tidak memiliki dasar nyata.
Isu mengenai perundingan untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung hampir tiga tahun ini kembali mencuat seiring dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Trump sebelumnya telah berjanji untuk menghentikan peperangan antara kedua negara tersebut, sementara di lapangan, pasukan Ukraina terus mengalami tekanan dalam pertempuran di timur.
Dalam wawancara dengan jurnalis Inggris Piers Morgan yang dipublikasikan Selasa (6/2), Zelenskyy menyatakan kesediaannya untuk duduk bersama Putin jika itu menjadi satu-satunya cara untuk membawa perdamaian bagi rakyat Ukraina tanpa kehilangan lebih banyak nyawa.
"Jika itu adalah satu-satunya cara untuk membawa perdamaian bagi warga Ukraina, maka tentu saja kita akan melakukannya," ujar Zelenskyy.
Baca Juga: Ada Pihak Bilang Bajingan Tolol ke Presiden, Prabowo: Saya Nggak Sebut Namanya Kalian Sudah Tahu
Namun, Peskov menegaskan bahwa ucapan Zelenskyy itu tidak dapat dianggap serius, mengingat adanya dekret yang ditandatangani oleh pemimpin Ukraina pada 2022 yang secara resmi melarang perundingan langsung dengan Putin. Peskov juga menyoroti bahwa Moskow tidak mengakui legitimasi Zelenskyy sebagai presiden, mengingat masa jabatan lima tahunnya telah berakhir tahun lalu dan pemilu tidak dapat digelar akibat hukum darurat militer di Ukraina.
"Zelenskyy memiliki masalah hukum besar di negaranya sendiri. Namun, meskipun demikian, kami tetap siap untuk berunding," tambah Peskov.
Putin Tolak Berunding Langsung dengan Zelenskyy
Pekan lalu, Putin telah menyatakan kesediaannya untuk berunding dengan Ukraina tetapi menegaskan bahwa dia tidak akan berbicara langsung dengan Zelenskyy. Kremlin juga menegaskan bahwa jika Kyiv benar-benar menginginkan perundingan, maka Ukraina harus menunjukkan keterbukaan dan itikad baik terlebih dahulu. Hal ini merujuk pada kemajuan militer Rusia yang terus bertambah di medan perang.
Menanggapi hal ini, Zelenskyy mengatakan bahwa berbicara dengan Putin sendiri sudah merupakan bentuk "kompromi" yang sulit bagi Ukraina dan sekutu-sekutunya. Ia menyebut Putin sebagai "pembunuh dan teroris" dan menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan perang adalah dengan memberikan ultimatum yang jelas dari Amerika Serikat.
Baca Juga: Rencana Trump Soal Gaza Picu Kecaman Global, Saudi Sebut Pendudukan Israel Akar Masalah
"Jika sekutu kami percaya bahwa diplomasi adalah jalan terbaik, mari kita jujur: bukankah berbicara dengan Putin saja sudah merupakan kompromi? Berbicara dengan seorang pembunuh adalah kompromi bagi Ukraina dan seluruh dunia yang beradab," tegas Zelenskyy.
Ketegangan Meningkat: Isu Senjata Nuklir Ukraina
Dalam wawancara yang sama, Zelenskyy juga mengangkat kembali isu perlunya Ukraina memiliki senjata nuklir sebagai bentuk pertahanan jika keanggotaannya di NATO terus tertunda.
"Jika kita tidak bisa bergabung dengan NATO, kita perlu paket perlindungan alternatif. Beri kami kembali senjata nuklir, sistem rudal yang kuat, mitra yang mendukung, dan bantuan untuk mendanai tentara yang lebih besar," katanya.
Peskov dengan tegas mengecam pernyataan ini, menyebutnya "nyaris gila" dan bertentangan dengan perjanjian internasional tentang non-proliferasi senjata nuklir.
Rusia Rebut Dua Desa Strategis
Sementara perdebatan diplomatik terus berlangsung, Rusia terus memperkuat posisi militernya di Ukraina. Pada Rabu (7/2), Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan bahwa pasukannya telah merebut dua desa strategis di Ukraina timur dan timur laut, yakni Baranivka di wilayah Donetsk dan Novomlynsk di wilayah Kharkiv.
Moskow mengklaim bahwa pasukannya telah berhasil menyeberangi Sungai Oskil, yang sebelumnya menjadi garis pertahanan utama Ukraina, dan mendirikan basis baru di area tersebut.