Skandal Korupsi e-KTP: Siapa Paulus Tannos dan Apa Perannya

Paulus Tannos merupakan salah satu aktor kunci dalam skandal pengadaan e-KTP yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Suara.com - Kasus korupsi besar di Indonesia kembali mencuat ke permukaan setelah penangkapan Paulus Tannos, salah satu buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), oleh otoritas Singapura. Ia merupakan salah satu aktor kunci dalam skandal pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP), yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Lantas, Paulus Tannos orang mana?
Paulus Tannos ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tahun 2019, bersama dengan beberapa nama lain, seperti Isnu Edhy Wijaya (mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara), Miriam S. Haryani (mantan anggota DPR), dan Husni Fahmi (Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP).
Sejak 19 Oktober 2021, Tannos masuk dalam daftar buronan KPK. Ia sempat berhasil melarikan diri dengan mengganti nama dan kewarganegaraan, yang membuat upaya penangkapannya menjadi tantangan besar bagi KPK. Berikut ulasan selengkapnya mengenai sosok Paulus Tannos.
Baca Juga: KPK Siapkan Dokumen Affidavit untuk Perkara Paulus Tannos di Singapura
Profil Paulus Tannos
Tannos lahir di Jakarta, 8 Juli 1954 dan memiliki nama asli Thian Po Tjhin. Ia merupakan mantan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, sebuah perusahaan yang memainkan peran penting dalam proyek e-KTP. Proyek ini berlangsung dari tahun 2011 hingga 2013 di bawah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
PT Sandipala Arthaputra mendapatkan porsi pekerjaan sekitar 44 persen dari total nilai proyek e-KTP, yang mencapai Rp5,9 triliun.
Peran Paulus Tannos dalam Kasus e-KTP
Dalam kasus ini, Paulus Tannos diduga kuat terlibat dalam penyusunan peraturan teknis proyek e-KTP bahkan sebelum proses lelang dimulai. Ia juga mengadakan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak lain yang terlibat, seperti Andi Agustinus dan Johanes Marliem.
Baca Juga: Kasus Suap Hakim: Budaya Jual Beli Perkara Mengakar di Peradilan
Pertemuan-pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk memenangkan konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan menetapkan skema pembagian fee sebesar 5 persen, yang akan diberikan kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.