Rekor! Perusahaan AS Berbondong-bondong Tinggalkan China di Tengah Perang Dagang

Bella Suara.Com
Rabu, 29 Januari 2025 | 16:29 WIB
Rekor! Perusahaan AS Berbondong-bondong Tinggalkan China di Tengah Perang Dagang
bendera China [antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China, semakin banyak perusahaan Amerika yang mempertimbangkan atau telah mulai memindahkan operasinya dari negeri Tirai Bambu. Menurut survei tahunan American Chamber of Commerce di China, sebanyak 30% perusahaan AS yang beroperasi di negara tersebut sedang dalam proses relokasi atau mempertimbangkan untuk hengkang. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2020, saat pandemi Covid-19 melanda.

Keputusan perusahaan-perusahaan ini didorong oleh sejumlah faktor, termasuk kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump yang berupaya mendorong reshoring manufaktur ke AS. Dalam pernyataannya di Forum Ekonomi Dunia di Davos pada Januari lalu, Trump menegaskan bahwa perusahaan yang berinvestasi di industri manufaktur AS akan mendapatkan insentif pajak yang lebih rendah.

Sementara itu, ancaman penerapan tarif 10% terhadap impor dari China mulai 1 Februari, jika Beijing tidak menindak ekspor bahan baku fentanyl, semakin memperburuk hubungan dagang kedua negara.

Faktor Ekonomi dan Ketidakpastian Regulasi

Baca Juga: 5 Fakta Menarik DeepSeek: Teknologi AI China Murah Meriah, Guncang Pasar Saham Dunia

Selain tekanan dari kebijakan AS, banyak perusahaan Amerika yang mulai mempertanyakan prospek bisnis mereka di China. Survei American Chamber of Commerce mencatat bahwa lebih dari 50% perusahaan melaporkan kesulitan mencapai keuntungan atau bahkan mengalami kerugian besar pada 2024. Sektor yang paling terdampak adalah sektor konsumsi (60%) dan jasa (57%), sedangkan sektor industri serta teknologi dan riset masing-masing mencatat angka 48% dan 45%.

Dari perusahaan yang telah mulai memindahkan operasinya, sebanyak 17% mengungkapkan bahwa mereka telah mengambil langkah konkret untuk relokasi, meningkat hampir 10% dibandingkan tahun 2020. Konflik perdagangan AS-China menjadi alasan utama bagi 44% perusahaan yang memutuskan hengkang, sementara 38% memilih untuk memindahkan operasinya ke negara-negara berkembang di Asia seperti India, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Sebanyak 18% lainnya memilih untuk kembali ke AS.

Di sisi lain, perusahaan asing di China juga menghadapi hambatan yang semakin besar. Hampir 50% perusahaan di sektor teknologi mengeluhkan bahwa perusahaan lokal mendapat perlakuan istimewa dalam riset dan pengembangan teknologi canggih. Sebanyak 93% perusahaan di sektor yang sama juga menyatakan bahwa keterbatasan akses pasar berdampak pada operasional mereka.

China Tidak Lagi Jadi Prioritas Investasi

Meskipun pemerintah China telah berupaya memperbaiki iklim investasi dengan melonggarkan akses pasar serta kebijakan visa dan investasi, banyak perusahaan Amerika yang mulai melihat China bukan lagi sebagai tujuan investasi utama.

Baca Juga: Kebun Binatang Ini Buka Bisnis Jual Urin Harimau Seharga Rp 111 Ribu, Tertarik Beli?

Pada tahun 2024, sebanyak 21% perusahaan AS tidak lagi menganggap China sebagai prioritas investasi mereka. Hal ini diperburuk oleh tindakan keras pemerintah China terhadap perusahaan konsultasi bisnis dan audit asing, yang menambah kekhawatiran di kalangan investor.

Ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi China tidak hanya dirasakan oleh perusahaan AS, tetapi juga oleh investor Eropa. Sebuah laporan dari Kamar Dagang Uni Eropa di China menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Eropa mulai melihat risiko berinvestasi di China sebagai sesuatu yang bersifat permanen.

Sebanyak 44% anggota Kamar Dagang Uni Eropa di China memperkirakan prospek keuntungan yang suram, dipengaruhi oleh isu regulasi, keterbatasan akses pasar, serta ketimpangan dalam kebijakan pengadaan pemerintah.

Sejalan dengan tren ini, negara-negara seperti Jerman juga mulai mempertimbangkan ulang hubungan ekonominya dengan China. Friedrich Merz, kandidat kuat kanselir Jerman, bahkan memperingatkan perusahaan-perusahaan Jerman akan risiko tinggi berbisnis di China, menyebut negara tersebut sebagai bagian dari “poros otokrasi” yang tidak tunduk pada prinsip hukum internasional.

Di tengah eksodus perusahaan-perusahaan asing dari China, India dan negara-negara Asia Tenggara berpotensi menjadi tujuan investasi baru. Baru-baru ini, raksasa teknologi IBM mengumumkan penutupan operasi risetnya di China setelah hampir 25 tahun beroperasi. Laporan menyebutkan bahwa perusahaan ini berencana memperluas operasinya di India.

Dengan semakin banyaknya perusahaan AS dan Eropa yang meninggalkan China, negara-negara seperti India, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia memiliki peluang besar untuk menarik investasi baru. Dalam situasi ini, negara-negara tersebut harus mampu menyediakan kebijakan yang menarik bagi investor untuk memastikan bahwa mereka dapat menjadi pusat pertumbuhan industri global yang baru.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI