Suara.com - Sejumlah 40 Warga Kampung Tongkol Dalam yang pekan lalu menjadi korban penggusuran, hingga saat ini masih bertahan di lahan bekas rumah mereka yang berada di Kolong Tol Wiyoto, Wiyono, Ancol, Jakarta Utara.
Seorang warga, Gatot Sudarto (73) mengatakan, kolong tol tersebut telah banyak didirikan bangunan sejak tahun 1996 usai tol tersebut diresmikan.
"Setelah dibangunnya tol sudah berdiri ini, satu per satu warga pada datang untuk membangun mencari lokasi untuk tempat berlindung," kata Gatot, di Jakarta Utara, Jumat (24/1/2025).
Ia mengatakan saat melakukan pembangunan, warga tidak mengantongi izin. Mereka juga mendirikan bangunan hanya dari bahan semi kayu dan bahan semi permanen lainnya.
Baca Juga: Bye-bye Bangunan Liar, Kolong Tol Angke Segera Punya Fasilitas Umum
"Nggak ada, tidak ada namanya persetujuan asal bangun-bangun aja diawali dengan bikin pakai kayu buat senderan buat tiduran lah," katanya.
Gatot menceritakan bahwa dirinya bisa mendirikan bangunan di kolong tol lantaran tidak memiliki pilihan lain untuk mendapat tempat tinggal.
Kepada Suara.com, Gatot bercerita kala dirinya memutuskan untuk merantau ke Jakarta pada tahun 1985.
Saat itu, ia mengadu nasib bekerja sebagai buruh serabutan yang penghasilannya tidak menentu. Kemudian pada tahun 1998, ia mulai mendirikan bangunan di kolong tol.
Sekira tahun 2000-an, banyak warga berdatangan ke lokasi tersebut untuk ikut bermukim dengan mendirikan bangunan.
Baca Juga: Pj Gubernur Pastikan Relokasi Kolong Tol dan Jembatan Dilakukan di Semua Wilayah Jakarta
Selama tinggal di kolong tol, ia mengakui bahwa kerap kali terjadi penggusuran. Ketika terjadi penggusuran di tahun 2007 lalu, ada tiga pilihan rusun untuk relokasi warga, yakni Rusun Kapuk, Pulogadung, dan Marunda.
"Sebagian pada pindah ke sana tapi saya masih bertahan di sini. Nah seiring berjalannya waktu itu warga yang sudah pada pindah, kembali lagi (ke kolong tol)," jelasnya.
Alasan warga kembali karena saat tinggal di rusun kesulitan mencari nafkah.
Sementara itu, pendamping warga, Izam (23) mengatakan, kekinian warga masih bertahan di lokasi karena masih belum mendapat kejelasan tempat tinggal baru.
"Warga masih mau di sini nunggu kejelasan lah kira-kira gimana," kata Izam.
Sebelum penggusuran, kata Izam, pihak TNI yang kebetulan berkantor di seberang lokasi pembongkaran menyampaikan pemberitahuan dengan cara mendatangi warga satu per satu.
"Nah sebelumnya, TNI itu sudah sempat memberikan pemberitahuan pada tanggal 26 Desember, door to door ke warga, tapi bukan sosialisasi, cuma (bilang) besok ambil duit di sana, Benglaps Jaya Tanjung Priok," ungkapnya.
Uang Kemanusiaan
Pemberian uang tersebut, sebagai uang kemanusiaan atas pembongkaran tempat tinggal warga yang tinggal di kolong jembatan.
"Katanya uang kerohiman dan uang kerohiman itu dibayarkan sekitar Rp10 juta. Hitungannya nggak satu orang, (tapi) yang punya bangunan, per bangunan."
Ia mengemukakan, setidaknya ada 143 bangunan yang mendapatkan penggantian uang Rp10 juta.
"Jadi 143 kali Rp10 juta tuh. Abis itu tanggal 27 (Desember) mereka (warga) tetap ngambil duit karena terpaksa. Kalau kata warga sempat ada paksaan, diambil nggak diambil (duitnya) tetap digusur," jelasnya.
Dalam pemberian uang penggantian, kata Izam, ada kejanggalan. Kejanggalan pertama tidak ada kop resmi dari Kodam Jaya.
“Nah tapi ada kejanggalan di surat itu pertama kop resmi Kodam nggak ada, pihak pertama dan pihak keduanya nggak jelas, cuma disuruh warga aja tanda tangan,” ungkapnya.
Kejanggalan kedua, yakni soal disebutkannya jika tanah tersebut merupakan milik Kodam Jaya.
“Diakui bahwa ini tanah Kodam dan siap ganti rugi, dan ketiga tidak disebutkan disitu ganti ruginya Rp10 juta,” ujarnya.
Puncaknya, pada Tanggal 6 kemarin, pihak TNI langsung meratakan seluruh bangunan yang ada di sana.
"Singkat cerita tanggal 6 mereka ngegusur dibelakang, ada bangunan kosong dihantam di situ," katanya.