Suara.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Nur Ansar mengucapkan selamat kepada Septia Dwi Pertiwi atas putusan bebas yang didapatkan setelah menjalani persidangan sejak 10 September 2024.
Diketahui pada 22 Januari 2025, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus bebas Septia karena semua dakwaan tidak terbukti. Dalam perkara bernomor 589/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Pst itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa sesuai dengan fakta hukum, pernyataan Septia di akun Twitternya adalah sebuah kebenaran.
"Jadi, semua pasal dakwaan Penuntut Umum dinyatakan tidak terbukti," tulis Ansar dalam keterangannya, Kamis (23/1/2025).
Ansar menyampaikan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan menunjukkan adanya permasalahan dalam perusahaan tempat Septia bekerja sebelumnya. Diketahui, Septia merupakan mantan pegawai PT Hive Five milik pengusaha Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Kasus yang menyeret Septia diketahui bermula dari laporan Jhon atas tuduhan pencemaran nama baik.
"Ini pada akhirnya sekaligus menjadi capaian baik dalam upayanya menyuarakan persoalan ketenagakerjaan kepada publik," kata Ansar.
Ia mengatakan pertimbangan Majelis Hakim yang didasarkan pada adanya 'kebenaran pernyataan' adalah sebuah perkembangan yang sampai saat ini mulai lazim digunakan di pengadilan sebagai penghapus pidana pencemaran nama baik. Doktrin "kebenaran pernyataan' atau truth juga disebutkan dalam SKB UU ITE.
"Secara sederhana, doktrin ini menekankan bahwa walaupun menyakitkan atau membuat harga diri atau reputasi kita terserang tetapi pernyataan tersebut suatu kebenaran maka pernyataan tersebut bukan suatu bentuk penghinaan atau pencemaran," kata Ansar.
Ia berujar penggunaan 'kebenaran pernyataan' untuk membuktikan terbukti atau tidaknya tindak pidana penghinaan seperti pencemaran nama, sebelumnya juga digunakan dalam perkara Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
"Oleh karena itu, bagi kami, konsistensi penggunaan 'kebenaran pernyataan' sebagai penghapus pidana kasus-kasus penghinaan atau pencemaran ini adalah preseden yang baik ke depannya untuk melindungi hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga negara," kata Ansar.
Tentu saja, kata Ansar, hal tersebut juga harus digunakan oleh penegak hukum di masa depan ketika KUHP 2023 berlaku pada 2026.
"Namun, bagi kami jika mengacu pada kronologi kasus, seharusnya Septia tidak diproses berdasarkan tindak pidana yang mengacu pada UU ITE 2008 dan perubahannya melalui UU 19 Tahun 2016," kata Ansar.
Ia mengatakan jika melihat kronologi dalam surat dakwaan, perbuatan yang menjadi dasar penangkapan Septia terjadi pada sekitar November 2022 sampai Januari 2023. Kasus tersebut lalu dilimpahkan Kejaksaan ke Pengadilan pada Agustus 2024.
"Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang harusnya diterapkan adalah ketentuan dalam UU ITE terbaru yaitu UU 1 Tahun 2024 karena secara substansi menjadi yang paling meringankan bagi Septia. Ancaman tindak pidana dalam UU ITE baru tersebut jauh lebih ringan dibanding UU ITE sebelumnya. Sedari awal, kami memperhatikan kesalahan yang dilakukan dalam dakwaan," kata Ansar.
"Namun, yang kami tekankan dari pertimbangan hakim kasus Septia, pengakuan 'kebenaran pernyataan' sebagai penghapus pidana adalah hal yang penting untuk diperhatikan aparat penegak hukum dalam menangani berbagai perkara yang bersinggungan dengan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat," sambung Ansar.
Sebagai informasi, ada tiga pasal tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum kepada Septia. Pertama, Pasal 27 (3) jo Pasal 36 Jo Pasal 51 (2) UU ITE tentang pencemaran dan/atau penghinaan yang mengakibatkan kerugian. Kedua, Pasal 27 (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/pencemaran nama. Dua tindak pidana ini masih didasarkan pada UU ITE tahun 2008 yang diubah melalui UU 19 Tahun 2016. Sementara dakwaan ketiga adalah Pasal 311 ayat (1) KUHP tentang fitnah.
Ada beberapa pernyataan Septia yang menjadi dasar pelaporan dari John LBF sebagai komisaris PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five).
Salah satunya adalah, postingan Septia yang menyatakan “Gak mau ah soalnya suka potong gaji karyawan sesukanya, tapi sayangnya waktu potong gaji gak pernah dikontenin dan pecatin karyawanya tapi haknya gak dikeluarin yang seharusnya, slip gajipun gak pernah ada."
Berdasarkan fakta-fakta hukum di pengadilan, Majelis Hakim menyimpulkan kalau semua postingan dari Septia yang ada dalam surat dakwaan adalah benar sehingga pasal dakwaan tidak terpenuhi.