20 Tahun untuk Membersihkan Puing? Masa Depan Suram Menanti Penduduk Gaza

Aprilo Ade Wismoyo Suara.Com
Kamis, 23 Januari 2025 | 15:50 WIB
20 Tahun untuk Membersihkan Puing? Masa Depan Suram Menanti Penduduk Gaza
Seorang pria duduk di antara reruntuhan bangunan di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Rabu (17/7/2024). ANTARA FOTO/Xinhua/Rizek Abdeljawad/rwa.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Empat hari setelah gencatan senjata yang mengakhiri konflik selama 15 bulan antara Hamas dan Israel, warga Palestina di Gaza kembali ke rumah mereka dengan harapan akan adanya tanda-tanda normalitas.

Namun, rasa lega mereka segera berganti dengan keputusasaan ketika mereka menyaksikan kenyataan pahit tentang apa yang tersisa dari rumah mereka.

Samira Mahmoud, seorang wanita Palestina, termasuk di antara mereka yang bergegas kembali ke rumah di bagian timur permukiman al-Shujaiya di Gaza City.

"Saat mendekati rumah, jantung saya berdebar, dan saya berdoa kepada Allah agar beberapa bagian rumah saya masih utuh," kata wanita berusia 32 tahun yang merupakan ibu dari tiga anak itu dalam wawancara dengan Xinhua.

Baca Juga: Israel Tolak Serahkan Rafah: Kendali Perbatasan Tetap di Tangan Zionis Meski Gencatan Senjata

Sayangnya, alih-alih mendapatkan harapan, ia mendapati kehancuran. "Saya mendambakan untuk pulang, tetapi yang saya temukan hanyalah reruntuhan. Anak-anak saya bertanya di mana rumah, mainan, dan kebun kami, tetapi semuanya sudah lenyap," keluh Samira.

Skala kerusakan membuat banyak area permukiman sulit dikenali. "Dulu, kota kami hidup dan ramai, dipenuhi orang, kendaraan, cahaya, dan kehidupan. Kini, bahkan reruntuhannya mengeluarkan nuansa kematian, ketakutan, dan ketidakpastian," ungkap Omar Sarsour, seorang penduduk di area permukiman Tel al-Hawa di Gaza barat.

Di kamp Bureij, Gaza tengah, pemandangannya tidak kalah suram. Setelah bertahan berhari-hari membersihkan puing-puing rumahnya, Ayman Obeid akhirnya menemukan foto lama yang menampilkan seluruh keluarganya.

"Saya pikir saya tidak akan pernah melihatnya lagi. Foto ini mencerminkan kehidupan kami sebelum perang, penuh dengan senyuman yang kini sudah hilang," tutur pria berusia 42 tahun itu.

Tidak jauh dari tempat itu, ibunya duduk di sebuah tenda darurat yang didirikan dekat reruntuhan rumah mereka. "Kami hidup sederhana tetapi bermartabat. Sekarang, kami hanya berharap mendapatkan perlindungan dari cuaca dingin," ujarnya.

Baca Juga: Warga Gaza Tolak Ketergantungan Bantuan dan Ingin Dapat Bekerja

Menurut perkiraan PBB, lebih dari 50 juta ton puing berada di Jalur Gaza. Proses pembersihan puing-puing tersebut diperkirakan akan memakan waktu lebih dari dua dekade dan membutuhkan biaya sekitar 1,2 miliar dolar AS.

Ismail Thawabta, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas, menjelaskan bahwa sekitar 88 persen wilayah Gaza mengalami kerusakan, dengan 161.600 unit tempat tinggal hancur total. Kerugian finansial awal diperkirakan melebihi 38 miliar dolar AS.

Sebuah laporan PBB terbaru menekankan bahwa upaya rekonstruksi memerlukan dana miliaran dolar AS serta komitmen internasional yang berkelanjutan.

Laporan tersebut juga mencatat potensi hambatan akibat pembatasan Israel terhadap masuknya material konstruksi ke Gaza.

Selama konflik 15 bulan antara Israel dan Hamas, militer Israel dilaporkan telah membunuh lebih dari 47.000 warga Palestina, menurut otoritas kesehatan Gaza, sementara lebih dari 90 persen populasi Gaza harus mengungsi.

Tim Pertahanan Sipil bekerja tanpa henti untuk mencari warga yang terjebak di bawah reruntuhan. Sejak gencatan senjata diberlakukan, mereka telah menemukan lebih dari 100 jenazah.

"Kami tidak bisa berbicara tentang kembali ke kehidupan normal sementara jenazah masih terkubur di bawah reruntuhan. Hanya pada hari Selasa (21/1), kami telah mengevakuasi 80 jenazah. Banyak keluarga yang masih hilang," demikian kata Sami Al-Haddad, seorang sukarelawan dalam upaya penyelamatan itu.

Meskipun lebih dari 1.000 truk bantuan kemanusiaan telah memasuki Jalur Gaza setelah gencatan senjata, warga merasa dukungan tersebut belum mencukupi.

Mohammed Salah, seorang penduduk kamp Nuseirat di Gaza tengah, mempertanyakan seberapa cukup bantuan itu.

"Bantuan datang, tetapi kami tidak merasakannya. Kami mendapatkan sedikit makanan, tapi bagaimana dengan rumah kami? Siapa yang akan membangun kembali? Hidup kami telah hancur," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI