Suara.com - Lokataru Foundation melaporkan 9 Hakim Konstitusi ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan dugaan pelanggaran kode etik.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen menjelaskan laporan ini dilayangkan lantaran menilai Hakim Konstitusi melakukan kelalaian dan pengabaian kewajiban hukum.
Menurut dia, hal itu menyebabkan anomali dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) terkait penetapan pihak terkait dalam sengketa Pilkada 2024 dan maladministrasi.
Pada 6 Januari 2025, kata Delpedro, RPH penetapan pihak terkait dilaksanakan pada hari yang sama dengan tahapan pendaftaran pihak terkait. Pendaftaran dibuka sejak pukul 08.00 WIB dan baru selesai diverifikasi pada pukul 21.00 WIB.
Baca Juga: Bicara Filosofi Hukum di Sidang Sengketa Pilkada, Hakim Arief Hidayat: Sekalian Kuliah
“Namun, hasil RPH untuk menetapkan diterima atau ditolaknya permohonan Pihak Terkait ditetapkan di hari yang sama,” kata Delpedro dalam keterangannya, dikutip Rabu (22/1/2025).
Hal ini dianggap menimbulkan keraguan akan kecakapan dan keseksamaan hakim dalam memeriksa lebih dari 310 permohonan pihak terkait yang diajukan.
“Jumlah perkara sengketa PHP Kada yang teregistrasi di MK saja mencapai 310 perkara. Jika dalam satu perkara terdapat lebih dari dua pasangan calon, maka jumlah permohonan Pihak Terkait bisa lebih dari 310. Belum lagi lembaga pemantau pemilu yang juga mengajukan permohonan Pihak Terkait,” tutur Delpedro.
“Dengan waktu yang sangat terbatas, mustahil para hakim dapat menelaah permohonan secara mendalam dan objektif," lanjut dia.
Selain itu, Delpedro juga menuding sembilan Hakim Konstitusi melakukan maladministrasi dalam penetapan pihak terkait. Sebab, dari 11 permohonan yang diajukan Lokataru sebagai pihak terkait, lima di antaranya ditolak melalui surat elektronik, pesan singkat, maupun situs resmi Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Gurau Kuasa Hukum Cagub-Cawagub Kaltim Soal Merayu Cewek di Sidang MK
“Bahkan, kelima permohonan tersebut baru memperoleh ketetapan pada 16 Januari 2025, setelah RPH kedua pada 14 Januari 2025, melampaui batas waktu yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) PMK No. 3 Tahun 2024,” ujar Delpedro.
Kuasa Hukum Lokataru, Fandi Denisatria menjelaskan bahwa ketentuan MK mengharuskan ketetapan diterbitkan paling lambat dua hari kerja sebelum sidang pemeriksaan pendahuluan.
“Namun faktanya, ketetapan baru kami terima di hari sidang, yang jelas melanggar aturan yang dibuat MK sendiri,” tegas Fandi.