Suara.com - TikTok menyatakan akan "berhenti beroperasi" di Amerika Serikat pada hari Minggu, mengancam akses untuk 170 juta pengguna jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa undang-undang yang mewajibkan penjualan atau pelarangan aplikasi tidak akan diterapkan.
Mahkamah Agung AS baru-baru ini menegakkan hukum yang memungkinkan larangan terhadap TikTok atas alasan keamanan nasional, kecuali jika pemiliknya, ByteDance, setuju untuk menjualnya kepada pembeli non-Tiongkok.
Para pejabat dan legislator yang sebelumnya mendukung undang-undang ini kini mulai khawatir mengenai dampaknya, dengan perhatian tertuju pada Presiden terpilih Donald Trump yang diharapkan dapat menemukan solusi.
TikTok, yang telah menjadi platform populer di kalangan berbagai usia, mulai dari remaja hingga nenek, telah menyumbang pada kemenangan pemilu Trump pada tahun lalu, karena kemampuannya menghubungkan dengan pemilih muda.
Baca Juga: Pemerintah AS Larang Penggunaan TikTok, Jumlah Pengguna RedNote Meroket
Pada Jumat malam, TikTok menyatakan layanannya di AS akan "dinonaktifkan" kecuali pemerintahan Biden memberikan pernyataan yang memuaskan penyedia layanan, menjamin tidak ada pelarangan platform tersebut.
Di tengah ketegangan ini, TikTok terus berusaha menggagalkan penerapan undang-undang yang mengharuskan penghapusan aplikasi dari toko aplikasi Apple dan Google.
Tawaran untuk membeli TikTok di AS telah diajukan oleh Frank McCourt, mantan pemilik Los Angeles Dodgers, dengan nilai tawaran mencapai $20 miliar. Namun, ByteDance tetap menolak untuk menjual TikTok.
Jika TikTok terpaksa ditutup, pesaing seperti Instagram Reels dan YouTube Shorts diharapkan mendapat keuntungan, sementara beberapa pengguna TikTok mulai beralih ke aplikasi media sosial Tiongkok, Xiaohongshu, yang kini menjadi aplikasi paling banyak diunduh di Apple Store AS.
Baca Juga: Mengapa TikTok Dilarang di AS: Ancaman Keamanan Nasional atau Strategi Geopolitik?