Suara.com - Sekretaris Jenderal PDI Peejuangan (PDIP) menyinggung soal cerita bagaiamana Wisanggeni lahir. Menurutnya, kisah tersebut menggambarkan benar suasana kebatinan PDIP saat ini.
Hal itu disampaikan Hasto dalam sambutannya di acara wayang semalam suntuk Satyam Eva Jayate: Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam dengan lakon Lahirnya Wisanggeni. Acara digelar di halaman Masjid At-Taufiq, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (17/1/2025) malam.
Hasto menyampaikan, jika ada teladan dan pelajaran yang bisa direfleksikan dari dua tokoh dalam lakon itu, yakni dari Wisanggeni dan Batara Narada, yang kontekstual dengan kondisi saat ini.
“Cerita Lahirnya Wisanggeni; Wisanggeni itu artinya racun api; dia menggambarkan seluruh suasana kebatinan PDI Perjuangan. Kita lahir bukan di tengah kasur empuk, tapi di tengah gemblengan sejarah. Justru di tengah gemblengan maha dashyat, hadir dalam sosok bayi yang dibuang di candradimuka, tak hilang dan lenyap, tapi tumbuh menjadi ksatria sakti yang cinta kebenaran dan setia kepada rakyat,” kata Hasto.
Hasto menceritakan singkat kisah Lahirnya Wisanggeni, anak dari Arjuna dan Batara Dresanala. Hubungan pasangan ini membuat Dewasrani (anak dari Batara Guru dan Dewi Durga) cemburu. Dewasrani menbujuk Dewi Durga agar bisa memisahkan hubungan Arjuna dan Dresanala. Dengan otoritas Batara Guru, dilakukan pemisahan paksa.
Batara Narada, dengan kejernihan alam pikir dan moralnya, melakukan protes atas itu. Tapi ambisi kekuasaan Batara Guru sangat brutal hingga memerintahkan agar bayi dalam kandungan Dresanala dipaksa lahir lebih cepat, dan bayinya dibuang ke kawah candradimuka.
Sang bayi, bernama Wisanggeni, mengalami keajaiban. Bukannya mati, namun pembuangan ke kawah justru menjadikannya sakti mandraguna, dan mampu menegakkan keberaran dan keadilan.
Dari kisah itu, Hasto mengatakan ada beberapa pesan.
Pertama, ketidakadilan bisa terjadi seperti dirasakan oleh Dresanala. Dunia menjadi gelap. Tetapi pada akhirnya keadilan akan datang, karena akhir kisah Wisanggeni lahir adalah Arjuna-Dresanala akhirnya bersatu dengan Wisanggeni.
Baca Juga: Klaim Bakal Didukung Banyak Pakar, Hasto Kristiyanto Siap Lawan KPK di Praperadilan
“Keadilan akan mencari jalannya sendiri, karenanya kitapun meyakini Satyam Eva Jayate bekerja di dalam diri Dresanala dan Wisanggeni,” kata Hasto.
Pesan kedua adalah kesetiaan kepada tugas seperti ditunjukkan Batara Narada. Sang batara itu selalu memperjuangkan kebenaran meski harus kehilangan pangkat dan jabatan.
“Semoga kita mampu jadi Narada-Narada yang memperjuangkan kebenaran meski harus kehilangan pangkat dan jabatan, Narada tak berubah karena setia pada jalan moral dan etika,” tegas Hasto.
Pesan ketiga adalah bahwa dibalik persoalan kehidupan, kerap kali dimulai dari hal sederhana. Misalnya, bagaimana sikap cemburu dan nafsu kekuasaan memicu kekacauan.
“Maka mari kita introspeksi, dengan kritik dan otokritik, kita sadari kelemahan kita, dan memperbaiki secara organisatoris. Sehingga PDI Perjuangan di usia 52 tahun mampu menyerap nilai-nilai ini dan hadir menjadi kekuataan yang berguna bagi negeri ini,” urai Hasto.
Keempat, belajar dari Wisanggeni, bahwa jalan menjadi ksatria takkan mudah. Dibuang di kawah candradimuka, Wisanggeni bukannya menyerah namun mampu menyerapnya dan menjadikannya makin berilmu.
“Maka mari menyerap watak Wisanggeni. Jadikan ujian yang ditujukan ke kita, menjadi energi untuk menguatkan mata batin dan hati, serta semangat kita. Sehingga tidak sia-sia lah Bung Karno mendirikan PNI yang akhirnya menjadi PDI Perjuangan,” pungkas Hasto.
Diketahui, wayang semalam suntuk ini menjadi rangkaian perayaan HUT ke-52 PDIP dan didalangi Ki Amar Pradopo Warseno Slank serta Ki Sri Susilo Thengkleng.