Ia mengungkapkan bahwa proses pemberian pangkat tersebut melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk Pasal 55 dan 56 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2010.
"Pemberian pangkat hanya berdasarkan surat rekomendasi Panglima TNI dan tidak melalui peninjauan lebih lanjut, yang menyalahi asas keterbukaan dan kecermatan," kata Markus.
Menurut DEMA, keputusan ini juga mengindikasikan potensi konflik kepentingan antara Presiden Jokowi dan Prabowo yang saat itu merupakan calon presiden.
"Ini bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," lanjut Markus.
Mereka kemudian mendesak agar majelis hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta menggunakan paradigma yang lebih realistis dan berpihak pada keadilan substantif, dengan mempertimbangkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang belum dipenuhi.
Gugatan Ditolak
Pada 31 Oktober 2024, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas penerbitan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024.
Majelis hakim menolak gugatan tersebut dengan alasan para penggugat tak memiliki kedudukan hukum yang sah.
Melalui Keppres itu, Jokowi diketahui memberikan gelar Jenderal Kehormatan Bintang 4 kepada Prabowo Subianto pada 28 Februari 2024 lalu.
Baca Juga: Rosan: Tak Ada Pertikaian, Dua Kubu Kadin Anin dan Arsjad Rujuk
Pada Perkara Nomor 186/G/2024/PTUN.JKT, penggugat terdiri dari Paian Siahaan, Hardingga, Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL).