Tolak Pangkat Kehormatan Prabowo, Ini Alasan Sederet Akademisi Kirim Amicus Curiae ke PTUN

Kamis, 16 Januari 2025 | 16:23 WIB
Tolak Pangkat Kehormatan Prabowo, Ini Alasan Sederet Akademisi Kirim Amicus Curiae ke PTUN
Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) disaksikan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subianto (tengah) usai menyematkan pangkat Jenderal TNI Kehormatan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI dan Polri Tahun 2024 di Mabes TNI, Jakarta, Rabu (28/2/2024). [ANTARA FOTO/Bayu Pratama S].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Para akademisi dari sejulah perguruan tinggi telah mengirimkan amicus curiae atau sahabat pengadilan terkait banding yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil usai gugatan soal pangkat kehormatan Jenderal TNI kepada Prabowo Subianto ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. 

Mewakili LSJ UGM, Munif Ashri mengkritik pendekatan formalisme hukum yang digunakan dalam putusan PTUN.

"Kami menyoroti formalisme peradilan yang menyangkal adanya politik impunitas dalam kasus ini,” ujarnya dalam dalam konferensi pers pada Kamis (16/1/2025).

Diketahui, pangkat kehormatan diberikan mantan Presiden Jokowi ketika Prabowo masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Pemberian gelar itu lalu diprotes oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan mengaitkan pelanggaran HAM berat  yang diduga dilakukan Prabowo pada 1997 dan 1998. 

Selain itu,  juga menyinggung adanya keabstrakan keputusan presiden terhadap pemberian pangkat militer istimewa dari sudut pandang hukum administrasi.

Mewakili DEMA Justicia yang berkolaborasi dengan LSJ, Markus menilai pemberian gelar tersebut mengurangi esensi penghargaan yang seharusnya diberikan berdasarkan jasa dan kontribusi nyata.

Ia juga menyebutkan keputusan tersebut melanggar peraturan, karena dilakukan hanya berdasarkan surat rekomendasi Panglima TNI, tanpa peninjauan lebih lanjut.

LSJ UGM, Munif Ashri. (tangkapan layar/Kayla Nathaniel Bilbina)
LSJ UGM, Munif Ashri. (tangkapan layar/Kayla Nathaniel Bilbina)

“Ini bukan hanya melanggar hak masyarakat untuk mengetahui dasar keputusan pemerintah, tetapi juga mengindikasikan betapa liciknya negara untuk menghindari pertanggungjawaban publik.” kata Markus.

Potensi konflik kepentingan antara Presiden Jokowi sebagai pemberi keputusan dengan Prabowo sebagai penerima penghargaan juga dikritik oleh DEMA Justicia.

Baca Juga: Kuliti Pelanggaran Mobil RI 36, Ferry Irwandi ke Raffi Ahmad: Minta Maaf dan Akui Kesalahan Bukan Tindakan Memalukan!

Pandekha UGM turut menimpali bahwa PTUN Jakarta menggunakan syarat legal standing yang terlalu sempit, terutama hanya mengakui kerugian aktual, yang justru menyulitkan masyarakat yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI