Suara.com - Hakim konstitusi Arsul Sani menegur kuasa hukum pasangan Cabup dan Cawabup Kabupaten Bireuen Murdani Yusuf dan Abdul Muhaimin, Wahyu Pratama.
Teguran tersebut terjadi dalam sidang perdana perselisihan hasil pilkada (PHP) atau sengketa Pilkada 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Awalnya, Wahyu mendalilkan adanya pelanggaran oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bireuen. Sebab, KPU Kabupaten Bireuen dinilai merekrut PPK dan PPS tidak sesuai aturan.
Menanggapi dalil tersebut, Arsul menanyakan total anggota PPK dan PPS yang direkrut. Wahyu lantas mengatakan KPU Kabupaten Bireuen merekrut PPK dan PPS tidak sesuai aturan di sejumlah kecamatan.
"Tidak mengutamakan calon nilai kelulusan tinggi? Satu orang saja atau semuanya gitu?" kata Hakim Arsul Sani di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2025).
"Ada di beberapa kecamatan, majelis," jawab Wahyu.
"Ada berapa kecamatan? Apa saja?" tanya Arsul.
"Yang tadi kami bacakan di Gandapura, majelis," sahut Wahyu.
Arsul kemudian menanyakan kepada Wahyu kecamatan mana saja dalam perekrutan PPK dan PPS tidak sesuai aturan.
Baca Juga: Borok Cabup Bone Bolango Terbongkar di MK, Ismet Ternyata Eks Napi dan Ngutang Rp315 Juta ke Negara
Alih-alih langsung menjawab, Wahyu justru terlihat mencari-cari nama kecamatan yang ditanyakan Arsul.
"Mana lagi? Gimana ini nggak hafal? Harus hafal, semua yang anda tulis itu harus ada di kepala, jadi kalau jawab itu langsung tidak pakai jeda," tegur Arsul.
"Yang pertama tadi di Gandapura majelis, yang kedua...," ucap Wahyu yang langsung dipotong oleh Arsul.
"Ya sudah kelamaan, yang kedua pertanyaannya, atas peristiwa ini Anda ajukan protes nggak ke Bawaslu, DKPP?" lanjut Arsul.
"Ada bukti surat majelis ke Bawaslu," sahut Wahyu.
Arsul lalu menanyakan ada atau tidak nya PPK dan PPS yang diduga direkrut dengan melanggar aturan itu, bersikap tidak adil kepada pemohon selaku peserta pilkada.
Namun, kuasa hukum tidak langsung menjawab dengan tegas.
"PPK dan PPS yang direkrut dengan cara melanggar itu bertindak berat sebelah nggak? Artinya adil atau nggak? Jangan-jangan dia melanggar tapi dalam menjalankan tugas tetap adil, tetap imparsial?" tanya Arsul.
"Iya majelis," sahut Wahyu.
"Iya apa?" tambah Arsul.
"Kita kan mendalilkan 8 kecamatan majelis terkait dengan perbuatan termohon," balas Wahyu.
"Iya apa bentuk konkretnya? Karena orangnya direkrut dengan pilih kasih maka dia bela nomor sekian? Itu apa bentuknya? Ada nggak? Jangan membuat-buat, kalau nggak ada katakan nggak ada, itu fair namanya," cecar Arsul.
"Kalau dari bentuk, kan kami mendalilkan terkait money politic," jawab Wahyu.
"Money politic yang melakukan siapa? PPK dan PPS?" tanya Arsul.
"Ini nggak, majelis," sahut Wahyu.
Lebih lanjut, Arsul menegaskan bahwa para kuasa hukum harus menguasai materi permohonan. Dengan begitu, tambah dia, kuasa hukum bisa menjawab pertanyaan majelis hakim dengan benar.
"Ini saya sengaja agak tanya ini supaya pemohon lain juga nanti bisa mempelajari kalau ditanya itu harus cepat, kalau anda masuk ke dalam ruangan ini, anda tidak kuasai persoalan yang anda ajukan mesti baca-baca dulu, ya saya kira itu mesti lain kali harus diperbaiki itu ya," tutur Arsul.
"Saya pernah duduk di tempat Anda dan di tempat pihak terkait, jadi harus tahu persis, gitu ya. Kalau kita harus menguasai dan kalau kita itu harus menguasai dan jawabannya harus shoot and fancy harus pendek dan mengena, jangan muter-muter," katanya.