Suara.com - Ukraina melancarkan serangan besar-besaran menggunakan rudal dan drone terhadap pabrik serta fasilitas energi di Rusia pada Selasa (16/1) dini hari. Serangan ini memicu kebakaran di berbagai lokasi yang berjarak ratusan kilometer dari garis depan, menurut sumber dari dinas keamanan Ukraina (SBU).
Militer Rusia menuduh Ukraina menggunakan rudal yang dipasok oleh Amerika Serikat dan Inggris dalam serangan ini. Moskow pun berjanji akan memberikan respons terhadap serangan yang disebutnya sebagai "tidak akan dibiarkan begitu saja."
Akibat serangan ini, sekolah-sekolah di wilayah Saratov, Rusia, terpaksa ditutup. Selain itu, setidaknya sembilan bandara di bagian tengah dan barat Rusia sempat menghentikan aktivitas penerbangan, menurut pejabat Rusia.
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina meningkat menjelang pelantikan Presiden AS terpilih, Donald Trump, pekan depan. Kedua belah pihak berupaya memperkuat posisi mereka dalam potensi negosiasi untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung hampir tiga tahun.
Baca Juga: Rusia Tanggapi Sanksi AS yang Serang Sektor Energi, Ancaman Ketidakstabilan Global
Serangan ke Pabrik dan Kilang Minyak
Sumber dari SBU menyatakan bahwa ledakan terjadi di "pabrik kimia, kilang minyak, dan gudang" di Rusia. Di antara target yang diserang pada Selasa dini hari adalah pabrik kimia di wilayah Tula dan Bryansk, Rusia barat.
Di Saratov, yang berjarak lebih dari 600 kilometer dari Moskow, Ukraina menghantam kilang minyak dan gudang senjata. Gubernur Saratov, Roman Busargin, menyebut skala serangan ini sebagai "massif." Sekolah-sekolah di Saratov dan Engels pun beralih ke pembelajaran daring akibat serangan ini.
Sementara itu, di wilayah Tatarstan yang kaya energi, sebuah drone menghantam tangki penyimpanan gas, menyebabkan kobaran api dan asap tebal di dekat kota Kazan. Media lokal menyebut serangan itu mengenai pangkalan penyimpanan gas cair dan membagikan gambar asap hitam yang membumbung tinggi.
Pukulan Menyakitkan bagi Rusia
Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim telah menembak jatuh enam rudal ATACMS buatan AS dan enam rudal jelajah Storm Shadow buatan Inggris yang ditembakkan Ukraina ke wilayah perbatasan Bryansk.
Militer Ukraina sebelumnya mengklaim berhasil menghantam sebuah pabrik kimia di Bryansk yang memproduksi bahan bakar roket dan bahan peledak untuk tentara Rusia. "Drone berhasil mengalihkan perhatian sistem pertahanan udara Rusia, sehingga rudal dapat mengenai target utama," kata Pasukan Sistem Tak Berawak Ukraina.
Baca Juga: Daftar Anggota BRICS Terbaru: Indonesia, Iran, dan Arab Saudi Resmi Bergabung
Ukraina secara rutin menargetkan situs militer dan energi di Rusia sebagai bentuk balasan atas serangan berulang Rusia terhadap jaringan energi Ukraina sejak invasi dimulai pada Februari 2022.
"Setiap depot amunisi, kilang minyak, atau pabrik kimia yang rusak adalah pukulan menyakitkan bagi kemampuan Rusia untuk berperang di Ukraina," ujar sumber dari SBU.
Seorang blogger Ukraina, Nikolayevski Vanyok, menyebut serangan semalam sebagai "mungkin salah satu yang paling efektif" dalam perang ini, dengan jangkauan serangan yang lebih luas dari biasanya.
Di sisi lain, angkatan udara Ukraina melaporkan telah menembak jatuh 58 drone buatan Iran yang diluncurkan oleh Rusia. Sebanyak 21 lainnya berhasil dilumpuhkan melalui sistem gangguan elektronik atau jatuh sebelum mencapai target.
Situasi Memanas Jelang Pelantikan Trump
Sementara serangan udara terus berlanjut, pasukan Ukraina mengalami kesulitan di garis depan, terutama di wilayah timur Donetsk. Pejabat di Pokrovsk, kota yang menjadi target utama Rusia di wilayah itu, kembali mengimbau warga yang tersisa untuk segera meninggalkan kota tersebut.
Moskow mengklaim telah merebut kembali dua desa di Donetsk, yakni Neskuchne dan Terny, yang sebelumnya sempat direbut oleh Ukraina. Keberhasilan ini menjadi simbolis bagi militer Rusia di tengah kesulitan Ukraina mempertahankan wilayahnya.
Pertempuran sengit terus berlangsung menjelang pelantikan Donald Trump pada 20 Januari. Trump sebelumnya menyatakan ingin mengakhiri konflik ini dalam "24 jam" setelah menjabat, yang memunculkan kekhawatiran di Kyiv bahwa Ukraina mungkin dipaksa untuk membuat konsesi teritorial sebagai syarat perdamaian.