Suara.com - Mesir menyatakan kesiapan untuk menjadi tuan rumah konferensi internasional guna merekonstruksi Jalur Gaza setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdealatty, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Luksemburg, Xavier Bettel, di Kairo, Selasa (14/1).
"Mesir siap, setelah tercapai gencatan senjata di Gaza, untuk menjadi tuan rumah konferensi internasional yang akan merekonstruksi wilayah tersebut," kata Abdealatty. Ia menambahkan, "Sudah saatnya kehendak politik bersatu untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza."
Pernyataan tersebut disampaikan setelah Qatar mengumumkan bahwa negosiasi gencatan senjata di Gaza telah mencapai "tahap akhir" dan bahwa pengumuman kesepakatan “sudah dekat.” Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, menyatakan bahwa rancangan kesepakatan telah diserahkan kepada Hamas dan Israel, serta hambatan utama dalam isu-isu krusial antara kedua belah pihak telah berhasil diatasi.
Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, juga mengonfirmasi bahwa kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Gaza berada pada "tahap akhir". Sumber Palestina yang meminta namanya tidak disebutkan menyebutkan bahwa kesepakatan ini "hampir selesai" dan dapat ditandatangani pada Jumat mendatang.
Sumber tersebut mengungkapkan bahwa kemajuan signifikan telah tercapai dalam finalisasi kesepakatan ini.
Perang yang dilancarkan Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 46.600 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, terus berlanjut meskipun Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi yang mendesak gencatan senjata segera.
Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant terkait dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional terkait perang yang dilancarkan di wilayah tersebut.