Suara.com - Nada bicara Ubaid Matraji mendadak meninggi. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) geram bukan kepalang mendengar kabar siswa SD di Medan, Sumatera Utara (Sumut) mendapat hukuman dari guru, duduk di lantai kelas.
Penyebabnya, karena menunggak membayar sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP.
Ia menegaskan persoalan tersebut harusnya selesai di tangan pemerintah yang menanggung biaya sekolah.
"Pemerintah itu harusnya menjalankan amanat konstitusi. Jadi nggak ada alasan anak nggak bisa sekolah karena belum bayar SPP, karena semua harusnya ditanggung pemerintah," kata Ubaid kepada Suara.com, Selasa (14/1/2024).
Cerita ini dialami siswa kelas IV SD Abdi Sukma, Kota Medan berinisial IM. Dia berasal dari keluarga kurang mampu.
Sejak 6 Januari hingga 8 Januari 2025, anak laki-laki yang masih berusia 10 tahun itu harus menanggung malu, lantaran dihukum gurunya duduk di lantai kelas karena menunggak SPP.
Belakangan, pihak sekolah mengklaim tindakan tersebut dilakukan atas inisiatif wali kelasnya sendiri.
Cerita IM ternyata hanya sekian kisah dari kasus serupa yang terjadi di tanah air. Seperti yang terjadi di Kabupaten Labuhanbatu, Sumut pada Maret 2024 silam.
Seorang siswi SMA Negeri 1 Panai Hilir menangis lantaran dikeluarkan pihak sekolah lantaran menunggak SPP.
Baca Juga: Orang Miskin Dilarang Sekolah: Cerita Pilu Siswa SD Duduk di Lantai karena Menunggak SPP
Padahal, siswi yang berasal dari keluarga kurang mampu tersebut, semestinya mendapat layanan pendidikan gratis. Setelah kasusnya viral di media sosial, Dinas Pendidikan Sumut, akhirnya turun tangan hingga siswi tersebut dapat kembali bersekolah.
Kisah lain juga pernah terjadi di ujung barat Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Pandeglang, Banten pada April 2024 silam.
Tiga siswa yang merupakan kakak beradik di Sekolah Dasar Islam Terpadu Mathla'ul Anwar atau SDIT ICMA dipulangkan paksa lantaran menunggak biaya sekolah sebesar Rp 42 juta.
Orang tua murid tersebut, Muhamad Fahat menjelaskan bahwa ketiga anaknya itu duduk di bangku kelas 1, 3 dan 5. Pemilik sekolah saat itu marah dan memerintahkan kepala sekolah untuk memulangkan ketiga anaknya yang belum melunasi SPP.
Padahal, Fahat mengaku sempat memohon kepada pihak sekolah agar ketiga anaknya dipulangkan di waktu jam sekolah. Sebab Fahat khawatir, apabila dipulangkan di tengah jam belajar akan menganggu psikologisnya.
"Tapi ini ditarik aja gitu langsung dimasukin ke mobil, dianterin pulang," ungkap Fahat.
Sementara di Nusa Tenggara Timur atau NTT puluhan siswa kelas XIII di SMAN 2 Maumere, Kabupaten Sikka pada April 2024 dikabarkan dipulangkan pihak sekolah dan tak boleh mengikuti ujian karena menunggak SPP.
Satu di antaranya, adalah siswi bernama Dian yang mengaku dipulangkan pihak sekolah dan tak diizinkan mengikuti ujian karena masih memiliki tunggakan SPP Rp 50 ribu.
Padahal, dia sudah memohon kepada pihak sekolah, dan berjanji akan melunasi SPP tersebut seusai ujian.
Menurut Ubaid kasus semacam ini berpotensi terulang kembali jika pemerintah tidak benar-benar menjalankan amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 Ayat 1 dan 2 Undang-undang Dasar atau UUD 1945.
Pengamat pendidikan ini menjelaskan bahwa dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 telah disampaikan, 'setiap warga negara berhak mendapat pendidikan'. Sedangkan di Ayat 2 disebutkan, 'setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.'
"Semua anak punya hak yang sama, jadi pemerintah wajib membiayai layanan pendidikan," jelasnya.
Angka Putus Sekolah Meningkat
Kasus anak tak bisa sekolah karena menunggak SPP saat ini kian mengkhawatirkan, lantaran terjadi di tengah angka putus sekolah di Indonesia yang terus mengalami peningkatan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap, angka anak putus sekolah di jenjang pendidikan SD pada tahun ajaran 2023/2024 mencapai 0,19. Meningkat 0,2 dari tahun ajaran sebelumnya.
Sedangkan di tingkat SMP pada tahun ajaran 2023/2024 angka putus sekolah di jenjang tersebut mencapai 0,18. Apabila dibandingkan tahun ajaran 2022/2023 terdapat peningngkatan sebesar 0,4.
Peningkatan angka putus sekolah memang mengalami penurunan kecil di jenjang pendidikan SMA. Pada tahun ajaran 2022/2023 angka putus sekolah SMA mencapai 0,20 dan menurun menjadi 0,19 pada tahun ajaran 2023/2024.
Sementara di jenjang pendidikan SMK, angka putus sekolah mencapai 0,28 atau meningkat 0,5 dibandingkan dengan tahun ajaran 2022/2023 yang hanya sebesar 0,23.
Psikolog Anak Seto Mulyadi atau Kak Seto pada pertengahan 2024 lalu mengungkap, lebih dari 70 persen penyebab utama putus sekolah adalah faktor ekonomi.
Padahal, pendidikan dasar bagi anak, kata dia, merupakan tahap krusial yang diperlukan anak untuk fase kehidupan selanjutnya.
"Kalau sampai hak ini terlanggar atau tidak terpenuhi, ya ibaratnya kita menanam sekuntum bunga yang seharusnya mekar dengan segala keelokannya, maka ini terpasung, akhirnya layu sebelum berkembang," katanya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian yang terus berulang terjadi ini.
Guru, menurutnya, tidak semestinya melakukan tindakan di luar tanggung jawabnya. Sebab, sebagai tenaga pendidik yang telah mempelajari ilmu pedagogik, guru sepatutnya memahami bahwa persoalan biaya merupakan tanggung jawab orang tua bukan anak.
“Apa yang terjadi ini bukan salah anak. Jadi tidaklah wajar untuk kemudian memberikan hukuman kepada anak,” kata Rose kepada Suara.com, Selasa (14/1/2024).
Sementara itu, Rose menilai penting bagi guru untuk memahami kondisi psikologis anak. Menurutnya tindakan seperti mengeluarkan anak dari sekolah, melarang ikut ujian, hingga menghukum duduk di lantai karena menunggak SPP, merupakan tindakan yang bisa menjatuhkan rasa percaya diri siswa.
"Pasti berdampak kepada nantinya adalah pertumbuhan perkembangan anak ini. Baik dari sisi emosi ataupun sosialnya. Itu pasti berpengaruh," katanya.