Suara.com - Makan Bergizi Gratis: Program Populis yang Rentan Tanpa Prioritas Jelas Menurut Sosiolog
Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo menghadapi kritik keras dari berbagai pihak. Sosiolog dan Sastrawan, Okky Madasari, menyoroti berbagai aspek yang dinilai tidak efektif, mulai dari pengelolaan anggaran hingga implementasi di lapangan yang dinilai tidak tepat sasaran.
Program MBG, yang sebelumnya bernama Makan Siang Gratis, mulai direalisasikan sejak Senin (6/1/2025) setelah melalui uji coba pada 2024.
Meski begitu, Okky menilai bahwa program ini belum dirancang dengan skala prioritas yang matang.
Baca Juga: Siswa SLB 2 Kali Lepehkan Lauk Makan Bergizi Gratis, Kenapa?
“Ketika ada program baru seperti MBG, tapi juga harus membiayai program lama, tentu harus ada prioritas. Jika Prabowo tidak bisa melihat mana yang berpihak pada rakyat, tentu akan boros. APBN tidak mencukupi itu semua,” ujarnya seperti dikutip dari Youtube Abraham Samad Speak Up, Minggu (12/1/2025).
Ia juga menyinggung perbandingan alokasi anggaran yang timpang, seperti meningkatnya anggaran untuk pertahanan dan kepolisian, sementara pendidikan justru mengalami penurunan.
Hal ini, menurut dia, menjadi tanda tanya besar apakah pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat atau hanya pada kelompok tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Okky menyarankan agar MBG difokuskan pada daerah-daerah miskin yang paling membutuhkan akses terhadap makanan bergizi.
“Fokuslah ke kelompok yang rentan. Kalau memang tujuannya adalah afirmasi bagi mereka yang tidak bisa mengakses makanan bergizi. Program ini dengan anggaran sedemikian besar dari awal tidak masuk akal,” katanya.
Baca Juga: Program Makan Bergizi Gratis Diperluas, Sasar Ibu Hamil dan Balita
Ia juga menyoroti berbagai masalah di lapangan, seperti makanan yang disajikan tidak layak gizi, distribusi yang tidak merata, hingga kebijakan sekolah yang melarang pengambilan foto makanan.
“Ketika ada larangan memfoto makanan, berarti ada yang ditutupi. Lebih baik ubah modelnya, fokus saja ke keluarga miskin,” tambah Okky.
Dari segi sosiologis, Okky menilai program ini lebih mengutamakan citra politik ketimbang keberlanjutan.
“Ini program populis, hanya berfokus pada penerimaan rakyat atas sesuatu yang kelihatannya baik. Pemimpin harusnya berani mengambil keputusan yang mungkin tidak disukai tetapi rasional dan berpihak pada sistem,” jelasnya.
Ia juga memperingatkan potensi bahaya jika program ini tetap berjalan tanpa perbaikan signifikan.
“Pemerintah akan semakin mengambil langkah ngawur untuk meningkatkan pendapatan negara, seperti pembabatan hutan. Ini bukan hanya soal anggaran, tetapi juga kontrol terhadap warga negara. Bisa menghasilkan generasi yang takut bersuara dan tidak kritis,” paparnya.
Menurutnya, pola ini berbahaya menjelang Pemilu 2029, di mana generasi muda yang menjadi pemilih pemula dapat dengan mudah dipengaruhi melalui narasi populis.
“Anak SMP dan SMA sekarang akan jadi pemilih pemula di 2029 nanti. Jika mereka melihat program ini sebagai kebaikan pribadi tokoh tertentu, mereka jadi potential voter yang bisa memenangkan pihak-pihak tertentu,” pungkasnya.
Program MBG, meskipun memiliki tujuan mulia, membutuhkan penyesuaian dan fokus pada kebutuhan mendasar rakyat.
Tanpa evaluasi yang serius, program ini berisiko menjadi alat politik yang lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang manfaat nyata bagi masyarakat. (Kayla Nathaniel Bilbina)