"Memang benar bahwa akan lebih jelas jika UU Peradilan Militer direvisi sesuai amanat Pasal Pasal 74 UU TNI yang menyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan," beber Usman.
Namun dalam faktanya, revisi itu tidak terwujud selama 20 puluh tahun menunjukkan rendahnya kehendak baik negara untuk menegakkan asas equality before the law atau persamaan warga negara di hadapan hukum.
"Kalau pimpinan TNI bersikeras merujuk UU Peradilan Militer, bisa saja. Tapi, sebaiknya jangan mendahului keputusan menteri (pertahanan) dengan persetujuan menteri kehakiman,” katanya.
Menurutnya, justru dalih status militer aktif bagi anggota yang melakukan tindak pidana umum menunjukkan tidak adanya kesetaraan di muka hukum.
"Justru cenderung memperkuat sentimen di masyarakat bahwa ada kekebalan hukum bagi warga negara berstatus militer. Ini tidak adil terutama bagi keluarga korban dan harus diakhiri," katanya.
Markas Besar TNI, sebelumnya, merespon desakan dari kelompok masyarakat sipil untuk mengadili tiga anggotanya yang terlibat dalam penembakan di rest area KM 45 Tol Merak-Tangerang di peradilan umum.
Namun, Kapuspen TNI Mayjen TNI Hariyanto menyatakan bahwa TNI tetap akan mengadili ketiga anggotanya tersebut di peradilan militer karena status mereka yang masih aktif sebagai anggota TNI.