'Diam Pun Mati, Bersuara Pun Mati': Kisah Pilu Korban Desak Reformasi Polri

Bangun Santoso Suara.Com
Kamis, 09 Januari 2025 | 18:15 WIB
'Diam Pun Mati, Bersuara Pun Mati': Kisah Pilu Korban Desak Reformasi Polri
Para penyintas sekaligus keluarga korban dari pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian. (bidik layar video)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus kekerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh polisi menciptakan kekhawatiran mendalam di tengah masyarakat. Hal ini mendorong para korban untuk mengungkap pola kekerasan dan ketidakadilan dalam institusi kepolisian dengan menyerukan reformasi Polri.

Para penyintas sekaligus keluarga korban dari pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian, Rusin, Rizal Putra dan Fatia Maulidiyanti berbagi kisah mereka dalam diskusi publik bertajuk "Kenapa Harus Terus Bersuara dan Mendesak Reformasi Polri?" Kamis (9/1/2025).

Mereka sepakat bahwa reformasi Polri adalah kebutuhan mendesak untuk menghentikan kekerasan dan penyalahgunaan wewenang yang terus terjadi.

Rusin, seorang ayah yang berjuang membebaskan anaknya dari tuduhan palsu, menceritakan perjuangannya melawan rekayasa kasus di Tambelang, Bekasi, pada 2021.

Baca Juga: Pameran Lukisan Yos Suprapto Dibredel, LBH Jakarta: Negara Melanggar HAM Seniman

Rusin mengungkapkan Fikri, anaknya, dituduh sebagai pelaku begal tanpa bukti oleh polisi. Ia lantas berjuang melawan kasus ini dengan mendatangi sejumlah lembaga HAM di Jakarta, termasuk Komnas HAM hingga DPR.

"Ini rekayasa kasus. Anak saya ditangkap tanpa ada surat penangkapan, tidak ada pemberitahuan," ujarnya.

Ia menyampaikan kritik terhadap Polri untuk terus membenahi institusinya secara menyeluruh.

“Alhamdulillah, setelah kami berjuang ada sedikit banyak kepolisian Tambelang melakukan perbaikan. Untuk lingkup yang lebih luas, tolong diperbaiki. Minimal pendidikannya, terutama kapolri untuk membenahi bawahannya. Jangan hanya dimutasi,” ujar dia.

Sementara itu, Rizal Putra, korban Tragedi Kanjuruhan sekaligus keluarga korban, mengisahkan trauma yang ia alami sejak peristiwa maut yang menewaskan lebih dari 135 orang akibat gas air mata, Sabtu (1/10/2022).

Baca Juga: Terima Banyak Aduan Terkaih Kasus di Papua, Komnas HAM Soroti Konflik Agraria dan PSN

Rizal menceritakan dirinya sempat terpisah oleh ayah dan adiknya saat tembakan gas air mata berlangsung di stadion.

“Mau keluar, pintu dikunci. Akhirnya saya pulang sekitar jam 2 malam, beliau (ayah) sudah ngga ada. Kalau adik saya yang kedua, baru ketemu hari Minggu di rumah sakit,” katanya.

Nahasnya, adiknya yang paling kecil bahkan tidak ikut di Kanjuruhan harus meregang nyawa akibat trauma yang dilalui setelah ayah dan saudaranya tiada.

Rizal lantas menceritakan perjuangannya melaporkan kasus ini pada Rabu (16/11/2022). Namun selama setahun, belum ada perkembangan pasti dari pihak kepolisian.

“Belum ada perkembangan. Pihak kepolisian bilang bantuan dari pemerintah yang awal awal adalah restitusi,” tambahnya.

Bahkan, selama proses laporan tersebut, Rizal kerap diintimidasi oleh kepolisian dengan ditawarkan menjadi polisi sebanyak enam kali. Namun ia dengan tegas menolak.

Aktivis HAM, Fatia Maulidiyanti, menyoroti pola kriminalisasi sistemik terhadap aktivis dan masyarakat yang vokal mengkritik pemerintah.

Sebelumnya, Fatia pernah menjadi korban kriminalisasi akibat kritiknya terhadap keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua.

"Polanya selalu sama, intimidasi, tawaran uang, atau perekrutan paksa menjadi polisi. Situasi ini terus berlanjut karena tidak ada evaluasi atau mekanisme pengawasan terhadap polisi. KUHP juga tidak memiliki nomenklatur tentang penyiksaan, sehingga tidak ada efek jera," ujar mantan Koordinator Kontras tersebut.

Ketiganya sepakat bahwa reformasi Polri membutuhkan dukungan masyarakat luas.

“Dalam mendorong reformasi Polri, tergantung daya dukung masyarakat terhadap kelompok penyintas dan lembaga yang berfokus terhadap reformasi polri ini,” kata Fatia.

Fatia lantas mengungkapkan bahwa rekam jejak oleh para lembaga, termasuk Kontras, nomor satu pelaku tindakan penyiksaan adalah polisi.

Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap polisi yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat terhadap hukum untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan.

"Diam pun kita mati, bersuara pun kita mati. Walaupun kita mati, kita bisa bersuara untuk kebaikan kita semua," kata Rusin.

Mereka berharap suara dan perjuangan mereka dapat menjadi langkah awal menuju reformasi kepolisian yang lebih manusiawi dan berintegritas. [Kayla Nathaniel Bilbina]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI