Suara.com - Kasus kekerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh polisi menciptakan kekhawatiran mendalam di tengah masyarakat. Hal ini mendorong para korban untuk mengungkap pola kekerasan dan ketidakadilan dalam institusi kepolisian dengan menyerukan reformasi Polri.
Para penyintas sekaligus keluarga korban dari pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian, Rusin, Rizal Putra dan Fatia Maulidiyanti berbagi kisah mereka dalam diskusi publik bertajuk "Kenapa Harus Terus Bersuara dan Mendesak Reformasi Polri?" Kamis (9/1/2025).
Mereka sepakat bahwa reformasi Polri adalah kebutuhan mendesak untuk menghentikan kekerasan dan penyalahgunaan wewenang yang terus terjadi.
Rusin, seorang ayah yang berjuang membebaskan anaknya dari tuduhan palsu, menceritakan perjuangannya melawan rekayasa kasus di Tambelang, Bekasi, pada 2021.
Rusin mengungkapkan Fikri, anaknya, dituduh sebagai pelaku begal tanpa bukti oleh polisi. Ia lantas berjuang melawan kasus ini dengan mendatangi sejumlah lembaga HAM di Jakarta, termasuk Komnas HAM hingga DPR.
"Ini rekayasa kasus. Anak saya ditangkap tanpa ada surat penangkapan, tidak ada pemberitahuan," ujarnya.
Ia menyampaikan kritik terhadap Polri untuk terus membenahi institusinya secara menyeluruh.
“Alhamdulillah, setelah kami berjuang ada sedikit banyak kepolisian Tambelang melakukan perbaikan. Untuk lingkup yang lebih luas, tolong diperbaiki. Minimal pendidikannya, terutama kapolri untuk membenahi bawahannya. Jangan hanya dimutasi,” ujar dia.
Sementara itu, Rizal Putra, korban Tragedi Kanjuruhan sekaligus keluarga korban, mengisahkan trauma yang ia alami sejak peristiwa maut yang menewaskan lebih dari 135 orang akibat gas air mata, Sabtu (1/10/2022).
Baca Juga: Pameran Lukisan Yos Suprapto Dibredel, LBH Jakarta: Negara Melanggar HAM Seniman
Rizal menceritakan dirinya sempat terpisah oleh ayah dan adiknya saat tembakan gas air mata berlangsung di stadion.