Suara.com - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar menyebutkan bahwa resistansi antibiotik telah menjadi silent pandemic. Resistansi antimikroba telah menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya.
Taruna menjelaskan bahwa resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang bahkan ketika di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka.
Jenis mikroorganisme yang berpotensi menjadi resisten sangat luas, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Taruna menekankan bahwa fenomena resistansi antimikroba itu tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.
"Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, terjadi seleksi ketat di mana organisme yang memiliki keunggulan genetik untuk bertahan akan melangsungkan kehidupan dan reproduksi,” urai Taruna saat menyampaikan orasi ilmiah usai mendapatkan penghargaan gelar ilmuan berpengaruh di Indonesia dari Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan, Sabtu (4/1/2025).
Baca Juga: Harga Obat Naik Akibat Kenaikan Pajak 12 Persen? Ini Penjelasannya
Dia menjelaskan bahwa bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, memungkinkan mereka secara cepat mengembangkan mekanisme pertahanan melawan zat antimikroba yang semula efektif membunuh mereka. Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba.
Bakteri merupakan contoh paling nyata, dengan kemampuan horizontal gene transfer yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik resistansi antarspesies. Fenomena ini memungkinkan penyebaran cepat kemampuan bertahan melawan antimikroba. Bahkan di antara bakteri yang secara taksonomi berbeda.
"Proses ini merupakan manifestasi nyata dari evolusi biologis, di mana organisme secara genetis beradaptasi untuk bertahan hidup menghadapi tantangan lingkungan," imbuh Taruna.
Di Indonesia, resistansi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, menurut Taruna, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resistan.
"Untuk itu, diperlukan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal," ujarnya.
Baca Juga: 5 Pengobatan untuk Radang Paru-paru dengan Obat Herbal yang Terbukti Efektif