Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis daftar 10 faktor Presiden ke-7 RI Joko Widodo layak disebut sebagai koruptor.
Rilisan tersebut dikeluarkan YLBHI menyusul nama Jokowi yang masuk nominasi orang-orang yang dinilai berkontribusi besar dalam memperburuk kejahatan terorganisir dan korupsi, sebagaimana yang dirilis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Melalui keterangan tertulis, YLBHI melihat adanya beberapa indikasi tipe korupsi yang dilakukan oleh Jokowi, yang meliputi:
Pertama, Political Bribery yang melibatkan pembuatan undang-undang yang disesuaikan dengan kepentingan pemberi kekuasaan. Hal ini terlihat dalam upaya perombakan kebijakan yang melarang rangkap jabatan.
Baca Juga: 7 Koleksi Tas Mewah Helena Lim, Aset yang Disita Bakal Dikembalikan?
Kedua,, Political Kickbacks yang 2 merupakan sistem kontrak yang menguntungkan pengusaha dan pemangku kebijakan. Ini terlihat jelas dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja
Ketiga, Election Fraud yang berkaitan dengan kecurangan saat pemilihan umum. Hal ini dilakukan dengan memobilisasi para menteri dan kepolisian untuk terlibat dalam kampanye Pilpres 2024.
Keempat, Corrupt Campaign Practice, dimana seseorang menggunakan fasilitas-fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politiknya. Terlihat dalam pengadaan bantuan sosial dan pembagiannya dilakukan menjelang Pilpres 2024.
Kelima, Discretionary Corruption membuat kebijakan-kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi dengan kekuasaan yang dimiliki. Terlihat ketika Jokowi berupaya untuk melanjutkan kekuasaan tiga periode dan upaya untuk memajukan waktu pelaksanaan Pilkada 2024.
Keenam, Illegal Corruption, yaitu korupsi yang dilakukan dengan mengobrak-abrik hukum dan bahasa hukum, yang memiliki potensi digunakan oleh aparat penegak hukum.
Baca Juga: Mengapa OCCRP Memasukkan Jokowi ke Finalis Tokoh Terkorup 2024? Ini Alasannya
"Kami sering melihatnya dalam tindakan-tindakan kriminalisasi dan represi terhadap rakyat yang menggunakan haknya bersuara dianggap “melawan aparat”, “merusak fasilitas umum”, dan “melanggar ketertiban”," tulis YLBHI
Ketujuh, Ideological Corruption yang merupakan penggabungan dari Discretionary corruption dan Illegal Corruption.
Kedelapan, Mercenary Corruption atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu 10 faktor yang membuat Jokowi layak disebut koruptor, di antaranya:
1. Pelemahan KPK Secara Sistematis
Pada tahun 2014, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menyentuh angka 34 setelah mengalami tren kenaikan gradual dari 17 di tahun 2000. Sekarang, indeks ini mengalami stagnasi bahkan tren penurunan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lepas landas lainnya. Pada tanggal 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan begitu lembaga antirasuah ini tidak lagi menjadi lembaga independen karena kelembagaannya berada di bawah presiden.
Berbarengan dengan revisi tersebut, Komisi III DPR pada 12 September 2019 memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 dengan mendapatkan 56 suara. Imbas revisi UU KPK, para pegawai KPK kemudian perlu berubah status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dampaknya, pada 25 Mei 2021, sebanyak 51 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan diberhentikan.
2. Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (2020)
Selain dalam proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna, LBH Padang (2020) mencatat ada empat poin krusial dalam revisi ini.
(1) Sentralisasi penguasaan mineral dan batubara yang menyebabkan akses masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dan kontrol masyarakat terhadap penguasaan pertambangan.
(2) Perpanjangan otomatis Kontrak Karya dan PKP2B mengabaikan proses evaluasi dan menghilangkan partisipasi masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.
(3) Tdak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk wilayah pertambangan yang akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sudah terlampaui, ditakutkan akan berdampak pada bencana alam akibat eksploitasi berlebihan.
(4) Pasal kriminalisasi masyarakat yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan, yang berpotensi menjadi pasal karet untuk membungkam perjuangan masyarakat di sekitar tambang yang terampas ruang hidupnya.
"Kami juga mencatat pasca regulasi tersebut direvisi terjadi kenaikan investasi yang menyasar sektor sumber daya alam. Produksi nikel meningkat secara gradual, surplus target batubara nyatanya berbanding terbalik dengan serapan pendapatan negara selama setidaknya tiga tahun terakhir (2022 – 2024)," tulis YLBHI dalam keterangannya.
3. Omnibus Law dan Pengabaian Check and Balances
Publik masih mengingat bahwa draft RUU Omnibus Law lahir dari Istana. Jokowi kala itu meminta DPR untuk mengesahkan dalam kurun waktu 100 hari. Di tengah penolakan keras dari rakyat, aliansi legislatif dan yudikatif menutup telinga dan mata untuk mendengarkan aspirasi. Bahkan, Jokowi membuat pernyataan intimidatif yang meminta BIN dan Polri “mendekati” kelompok masyarakat yang menolak paket kebijakan sapu jagat tersebut serta mengerahkan kepolisian untuk melakukan represi sistematis terhadap massa aksi di beberapa kota.
Pada akhirnya Omnibus Law disahkan, namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan syarat perlu melakukan revisi dengan prinsip partisipasi bermakna. Jokowi tidak mendengarkan putusan tersebut, namun malah membangkan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dengan substansi yang sama tanpa menyerap aspirasi rakyat.
4. Rezim Nihil Meritokrasi
Merupakan rahasia umum bahwa selama Jokowi menjabat presiden, ia mengangkat beberapa individu yang mendukungnya dalam Pilpres masuk ke jabatan-jabatan spesial.
Setidaknya, terdapat 13 relawan Jokowi dalam Pemilu 2019 telah menjadi komisaris BUMN. Mereka adalah Rizal Mallarangeng, Lukman Edy, Zulnahar Usman, Arya Sinulingga, Arief Budimanta, Irma Suryani Chaniago, Dudy Purwagandhi, Fadjroel Rachman, Andi Gani Nena Wea, Ukin Ni’am Yusron, Eko Sulistyo, Dyah Kartika Rini, Kristia Budiyarto.
Ditempatkannya orang-orang dekat Jokowi menunjukan praktik reformasi birokrasi dengan skema meritokrasi hanya jargon belaka.
5. Menghidupkan Kembali Dwifungsi Militer
Dwifungsi ABRI di Indonesia adalah sejarah lambang kekuasaan yang korup. Di masa kekuasaannya, Jokowi mencoba kembali menghidupkan praktik tersebut. Mahkamah Rakyat mencatat beberapa poin penting yang dapat menunjukkan kembalinya praktek ini.
(1) Melalui pengesahan Undang-undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Di undang-undang ini jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer aktif diperluas.
(2) Menempatkan 29 anggota TNI aktif menjabat secara ilegal di luar ketentuan UU TNI. Ini menyebar dari pemerintah pusat hingga mengisi posisi Pj kepala daerah.
(3) Memberikan proyek food estate kepada Kementerian Pertahanan yang akhirnya melegitimasi tentara untuk berbisnis.
6. Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Usaha Milik Relawan
Erick Thohir selaku Menteri BUMN melakukan perombakan pejabat perusahaan BUMN Eselon I. Ia menjelaskan tindakan tersebut merupakan arahan dari Jokowi.
Dalam praktiknya, perombakan tersebut sarat akan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan melanggar Asas-Asas Pemerintahan Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) karena banyak pejabat perusahaan BUMN yang merangkap jabatan. Rangkap jabatan ini dilegitimasi dengan dirombaknya kebijakan yang awalnya melarang menjadi diperbolehkan. Beberapa pejabat perusahaan di BUMN tercatat juga melakukan rangkap jabatan.
Tercatat Carlo B Tewu diangkat sebagai Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan. Tewu, diangkat ketika dirinya masih menjabat sebagai Irjen Polri tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Saat ini Tewu juga tercatat sebagai Komisaris PT Bukit Asam Tbk, sebuah perusahaan batu bara yang dijalankan oleh swasta.
Ada juga bagi-bagi jabatan dilanjutkan oleh Erick, dengan mengangkat Bambang Sunarwibowo–seorang perwira aktif Polri dan Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara sebagai Komisaris PT Aneka Tambang Tbk, pada 11 Juni 2020.
7. Intelijen untuk Kepentingan Politik
Jokowi juga memberikan posisi kepada relawannya dalam Pilpres kepada Diaz Hendropriyono dan Gories Mere sebagai staf khusus intelijen Istana. Presiden adalah orang, bukan institusi yang kaderisasinya berjalan berjenjang. Diaktifkannya intelijen istana di masa Jokowi dimanfaatkan dengan baik olehnya sebagai alat untuk memperkuat posisi politiknya.
Publik mengingat bahwa Jokowi pernah menyampaikan bahwa dirinya memiliki semua isi dapur partai politik yang dikumpulkan dari kerja-kerja intelijen. Dampaknya, tak hanya satu partai politik yang sempat diacak-acak oleh Jokowi dan gerbongnya. Diaz, ketika itu juga merupakan komisaris PT Telkomsel dan komisaris PT M Cash Integrasi Tbk.
8. Represi dan Kriminalisasi
YLBHI dan jaringan mencatat setidaknya terdapat 333 massa aksi yang menjadi korban dengan berbagai macam bentuk serangan dari polisi, aparat berbaju bebas, dan tentara. Bentuk-bentuk serangan tersebut di antaranya adalah doxing, perampasan aset, penganiayaan, perburuan, penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, penghilangan paksa dalam waktu singkat, hingga penghalang-halangan pendampingan hukum.
9. Proyek Strategis Nasional Merampas Ruang Hidup Rakyat
Banyak langkah korup yang dilakukan oleh rezim Jokowi untuk memperlancar apa yang hari ini biasa kita sebut sebagai Proyek Strategis Nasional. Pertama, Jokowi membuat pondasi kebijakan: Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, PP No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan segala revisinya, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Kebijakan tersebut dalam banyak praktik bisnis dijadikan sebagai stempel untuk memuluskan proses pembebasan lahan. Rempang Eco City, Wadas, dan Pulau Komodo adalah contohnya. Bahkan, Majelis Rakyat Luar Biasa 2024 lalu mencatat bahwa, Jokowi melegitimasi deforestasi 2 juta hektar hutan untuk proyek PSN ketahanan pangan.
10. Nepotisme Kekuasaan
Di akhir masa jabatannya, Jokowi mencoba segala cara dengan memobilisasi polisi, menteri, dan para relawannya, serta menggunakan fasilitas negara (bantuan sosial) untuk mengamankan posisi anaknya memenangkan kursi Wakil Presiden dalam Pilpres 2024.
Tidak berhenti di situ, Jokowi juga terlihat mensponsori menantu, dan anaknya maju dalam pemilihan kepala daerah dengan sekali lagi mencoba untuk merevisi Undang-undang Pilkada. Bobby Nasution (menantu Jokowi) yang hendak maju menjadi calon Gubernur Sumatera Utara; Ahmad Luthfi (geng Solo) hendak menjadi calon Gubernur Jawa Tengah; Sendi Ferdiansyah (sekretaris pribadi Iriana Jokowi) hendak menjadi Wali Kota Bogor; dan Khofifah Indar (timses Prabowo-Gibran) sebagai calon Gubernur Jawa Timur.