Muhaimin Iskandar Khawatirkan Banjir Capres Tak Realistis Pasca Putusan MK

Jum'at, 03 Januari 2025 | 20:01 WIB
Muhaimin Iskandar Khawatirkan Banjir Capres Tak Realistis Pasca Putusan MK
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. (Suara.com/Novian Ardiansyah)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar memandang terlampau banyak calon presiden yang tidak realistis bakal 'buang-buang'.

Hal itu ia sampaikan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Imbas dari putusan MK, partai politik kini bisa mengusung calonnya sendiri sehingga berpotensi menimbulkan banyak calon.

Menurut Imin, putusan MK itu tentu membuat demokrasi lebih cair. Tetapi di satu sisi akan 'buang-buang' bila calon yang diusung tidak realistis.

"Pasti, pasti semua menyambut cairnya demokrasi tapi kita juga punya pengalaman kalau terlampau banyak calon yang nggak realistis juga buang-buang," kata Imin usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (3/1/2025).

Baca Juga: Semua Senang atas Putusan MK, Cak Imin Singgung Trauma Kalah saat Ditanya Siap Nyalon Presiden

Meski begitu, Imin menegaskan bahwa PKB menghormati putusan MK yang bersifar final dan mengikat.

"Kalau keputusan MK siapapun harus tunduk. Problemnya adalah ada satu bab di situ dari keputusan itu mengembalikan kepada pembuat UU nanti ya tergantung fraksi-fraksi di DPR," ujarnya.

Sebelumnya, MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tambah dia.

Baca Juga: MK Hapus Presidential Threshold: Akhir Monopoli Kekuasaan?

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa ketentuan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak pollik dan kedaulatan rakyat namun juga melangga moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi.

“Nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mankamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya,” ujar Saldi.

“Pergeseran pendirian trebut tidak hanya menyankut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan clon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” lanjut dia.

Adapun perkara ini menguji Pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang berbunyi sebagai berikut:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.

Dalam gugatannya pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat ketentuan presidential threshold yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu.

Sebab, mereka menilai terjadi keterbatasan bagi pemilih untuk menentukan pilihan presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan preferensi atau dukungan politiknya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI