MK Hapus Ambang Batas Presiden, PBNU Ogah Pusing: Itu Urusan Parpol, Kami Hanya Pencoblos!

Jum'at, 03 Januari 2025 | 17:48 WIB
MK Hapus Ambang Batas Presiden, PBNU Ogah Pusing: Itu Urusan Parpol, Kami Hanya Pencoblos!
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa Gus Yahya. [Suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ogah ambil pusing soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.

Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, mengatakan posisi NU hanya sebagai pemilih bukan sebagai pihak yang memiliki kepentingan politik.

“Posisi NU dan warganya ini hanya sebagai pencoblos, kalau kita diberi kesempatan mencoblos, ya kita coblos. Soal siapa yang boleh nyalon atau tidak ini domain dari aktor-aktor politik kelembagaan yaitu partai-partai, DPR dan lain sebagainya,” kata Yahya di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (3/1/2025).

Yahya mengatakan, persoalan penghapuan presidential threshold bagi partai politik telah lama dan saat ini telah diputus MK. Dalam memutuskan hal itu, lanjut Yahya, tentunya MK telah memiliki nalar konstitusionalnya sendiri.

Baca Juga: MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Pilpres 2029 Bakal Lebih Bergairah

Disisi lain, para aktor politik juga telah memiliki visi tentang bagaimana konstruksi politik Indonesia ke depan harus diciptakan supaya ada keseimbangan antara tuntutan demokratisasi dan efisiensi manajemen politik nasional.

“Kita tentu tidak hanya memikirkan masalah demokrasi dengan mengorbankan katakanlah sistem politik yang tidak efisien tentu tidak, tapi harus ada pertimbangan tentang hal itu dan saya kira itu menjadi gagasan dari para pemimpin politik,” jelas Yahya.

Setelah hal tersebut diputus MK, Yahya mengatakan selanjutnya bagaimana partai politik hingga parlemen dan pemenrintah untuk mengimplementasikannya dalam pelaksanaan pemilu atau pemilihan presiden.

“Saya kira begitu jadi kita tidak ingin masuk ke arena yang bukan menjadi domain kami apa yang bisa kami sampaikan hanya pandangan umum yang mungkin membutuhkan diskusi yang lebih luas di tingkat publik,” pungkasnya.

Suasana sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). [ANTARA FOTO/Fauzan/rwa]
Suasana sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). [ANTARA FOTO/Fauzan/rwa]

Sebelumnya MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.

Baca Juga: MK Tegaskan Warga Indonesia Wajib Beragama, Tidak Beragama Tak Tercatat di Adminduk

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tambahnya.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa ketentuan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak pollik dan kedaulatan rakyat namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi.

“Nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya,” ujar Saldi.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka prosentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” lanjut dia.

Adapun perkara ini menguji Pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang berbunyi sebagai berikut:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.

Dalam gugatannya pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat ketentuan presidential threshold yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu.

Sebab, mereka menilai ada keterbatasan bagi pemilih untuk menentukan pilihan presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan preferensi atau dukungan politiknya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI