Suara.com - Analis Politik yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai dihapusnya Presidential Treshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen akan membuka peluang Gibran Rakabuming Raka maju di Pilpres 2029. Jika demikian, Gibran bakal berhadapan dengan Prabowo Subianto.
"Kalau mau jujur saya tambahkan, dengan adanya ambang batas presiden yang dihapuskan oleh MK, mestinya orang-orang seperti Gibran ya yang ingin naik level politiknya, bukan lagi mengincar posisi Wapres di 5 tahun yang akan datang, ini saatnya," kata Adi kepada Suara.com, Jumat (3/1/2025).
Terlebih juga Gibran, kata Adi, adalah tokoh populer, lalu orang yang elektabilitasnya tinggi. Untuk itu Gibran tak perlu lagi lelah untuk mencari kendaraan politik.
Atas dasar itu, kata dia, Gibran disebut punya kesempatan besar maju di Pilpres 2029 melawan siapa pun. Termasuk untuk melawan Prabowo Subianto.
Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Ganggu Peluang Gibran di Pilpres 2029
"Gibran cukup misalnya meyakinkan PSI, mengingat PSI selama ini sangat dekat dengan Jokowi, dekat dengan Gibran, dan ketua umum PSI adalah Kaesang," katanya.
"Gibran yang bekal politiknya besar, hebat, anak Jokowi gitu ya sekarang Wapres, bisa maju itu di 2029, bisa melawan siapapun, termasuk melawan Prabowo Subianto, cukup hanya dengan maju melalui PSI, termasuk orang seperti Anies Baswedan," sambungnya.
Untuk itu, kata dia, figur yang punya popularitas kekinian hanya tinggal meyakinkan partai politik perserta pemilu untuk bisa maju di Pilpres 2029.
"Jadi orang-orang yang merasa punya popularitas dan elektabilitas tinggi, cukup meyakinkan partai non-parlemen, tapi partai itu bisa ikut pemilu dan bisa bertanding. Saya kira di situ," pungkasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.
Baca Juga: MK Hapus Presidential Threshold, Said Abdullah PDIP: Kami Sepenuhnya Tunduk dan Patuh
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tambah dia.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa ketentuan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak pollik dan kedaulatan rakyat namun juga melangga moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi.
“Nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mankamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya,” ujar Saldi.
“Pergeseran pendirian trebut tidak hanya menyankut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan clon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” lanjut dia.
Adapun perkara ini menguji Pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang berbunyi sebagai berikut:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya
Dalam gugatannya pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat ketentuan presidential threshold yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu.
Sebab, mereka menilai terjadi keterbatasan bagi pemilih untuk menentukan pilihan presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan preferensi atau dukungan politiknya.