Jokowi Tokoh Terkorup dan Presidential Threshold Dihapus, Rocky Gerung: Awal Tahun yang Bagus

Jum'at, 03 Januari 2025 | 16:55 WIB
Jokowi Tokoh Terkorup dan Presidential Threshold Dihapus, Rocky Gerung: Awal Tahun yang Bagus
Kolase Jokowi dan Rocky Gerung. (Suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat politik Rocky Gerung menyebutkan kalau Indonesia mendapatkan dua kabar baik pada awal tahun 2025 ini. Pertama, berkaitan dengan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang dinobatkan sebagai tokoh terkorup di dunia versi Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).

Kedua, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus aturan ambang batas capres-cawapres atau presidential threshold 20 persen.

"Ya ini awal tahun yang bagus. Pertama adalah penobatan mantan Presiden Jokowi sebagai sang koruptor. Tapi ya banyak orang yang menyesalkan karena kenapa enggak dapat nomor satu misalnya. Tapi udahlah, Pak Jokowi dianggap harusnya jadi Sekjen PBB tapi justru dapat piala untuk koruptor terbaik di tahun ini," kata Rocky, dikutip Suara.com dari tayangan video pada kanal YouTube pribadinya, Jumat (3/1/2025).

Menurut Rocky, penobatan Jokowi sebagai tokoh paling koruptor oleh OCCRP menjadi pesan dari internasional bahwa masyarakat Indonesia pernah punya presiden yang buruk.

Baca Juga: "Jokowi Terlalu Baik", Netizen Kritik OCCRP atas Nominasi Kontroversial

"Kita harus terima itu karena dalam peradaban global, semua saling mengintai, semua saling hendak membersihkan diri. Jadi posisi-posisi itu yang saya kira bagus walaupun kita harus telan sebagai fakta buruk di dalam peradaban politik," ujarnya.

Sementara itu, terkait dihapusnya presidential threshold oleh MK, dikatakan Rocky bahwa keputusan tersebut menjadi momentum kembalinya akal sehat dari lembaga tersebut. Dia menekankan bahwa Indonesia sebagai negara presidensial sudah seharusnya tidak memiliki ambang batas untuk pilpres.

"Presidential threshold nol itu memang kemestian dalam sistem presidensial. Jadi kalau sekarang kita dapat semacam hadiah itu artinya Mahkamah Konstitusi atau beberapa orang di Mahkamah Konstitusi punya kemampuan untuk membaca keinginan publik," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI