Suara.com - Dua hakim Mahkamah Konstitusi sempat berbeda pendapat dengan putusan penghapusan ambang batas persentase minimal pencalonan presiden atau presidential threshold yang dilakukan MK. Keduanya adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
Anwar diketahui merupakan ipar dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi. Anwar juga merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka.
"Terhadap putusan Mahkamah, terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh," kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta pada Kamis (2/1/2025).
Keduanya berpendapat bahwa para pemohon dalam perkara tersebut tidak memiliki kedudukan hukum, sehingga permohonann tidak dapat diterima. Pendapat tersebut berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi yang sepakat presidential threshold dihapus.
Baca Juga: MK Hapus Presidential Threshold, Perindo: Ruang Demokrasi Semakin Terbuka
Selain itu, Anwar dan Daniel meyakini bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU 7/2017 yakni partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dan perseorangan yang memiliki hak dipilih dan didukung untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Mereka mengemukakakn bahwa kategori pihak yang memiliki kedudukan hukum tersebut telah menjadi pedoman Mahkamah dalam 33 kali pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sebelumnya. Lantaran itu, kedua hakim konstitusi itu tetap berpedoman pada kategori tersebut.
Selain itu, mahkamah dinilai mereka tidak bisa mengendalikan diri dari kecenderungan untuk menilai kembali konstitusionalitas norma presidential threshold dengan menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang.
"Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak diperkenankan membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang," demikian pendapat berbeda Anwar dan Daniel dikutip dari salinan putusan yang diunduh dari laman resmi MK.
Putusan MK
Sebelumnya MK memutuskan untuk menghapus ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7/2017 karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Wakil Ketua MK Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan putusan, mengatakan bahwa Mahkamah menilai presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Saldi. (Antara)