Suara.com - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan sikap pemerintah menghargai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.
Supratman mengatakan pemerintah akan mempelajari dan mengkaji putusan MK untuk kemudian melakukan koordinasi.
"Karena di putusan walaupun saya belum baca lengkap kan MK tidak menyatakan bahwa kapan diberlakukan, pemberlakuannya kapan, apakah 2029 atau 2034 karena itu nanti kami tetap berpandangan bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat," kata Supratman kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).
"Biasanya kan putusan itu menentukan ini berlaku pada saat pemilu akan datang. Setelah saya lihat putusannya walaupun saya belum baca secara lengkap itu ngga ada," sambungnya.
Baca Juga: PKS Nilai Seharusnya MK Bisa Hapus Juga Ambang Batas di Pilkada
Berdasarkan hal tersebut, Supratman menyampaikan pihaknya akan mempelajari dengan cermat isi putusan MK.
"Tentu kami akan berkoordinasi dengan parlemen untuk membahas ini dalam perubahan Undang-Undang Pemilu," kata Supratman.
Tidak Mempersoalkan
Supratman menegaskan bahwa pemerintah tidak mempersoalkan putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Ia menyampaikan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Cuma, kan, secara prinsip kami tidak mempersoalkan isi putusannya. Hanya yang kami lihat satu hal bahwa putusan sebelumnya terkait dengan Pilkada, kan, MK menurunkan ambang batas, kan sebelumnya ada konsistensinya, dulu di Undang-Undang Pilkada yang diputus ambang batasnya kan diturunin, sekarang betul-betul menghapus, konsistensi itu yang menurut saya tidak menjadi masalah," tuturnya.
Selain dengan DPR, nantinya pemerintah bakal langsung berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk menyelaraskan aturan menyusul adanya putusan MK.
Baca Juga: MK Hapus Presidential Threshold, NasDem Meradang: Tidak Terbayangkan...
"Nanti pemerintah termasuk kami Kementerian Hukum dengan Kemendagri, kemudian nanti kami akan komunikasikan dengan penyelenggara Pemilu karena nanti kan pada akhirnya kalau terkait dengan pelaksanaan apemilu kan akan ada suatu perubahan terkait undang-undangnya, kedua juga PKPU nya, nah itu semua akan diselaraskan," kata Supratman.
Sementara itu ditanya dampak positif putusan MK terhadap masyarakat, Supratman belum menyimpulkan. Ia ingin mempelajari lebih cermat.
"Saya belum bisa menyatakan bahwa apakah itu positif atau tidak karena kan setiap sebuah keputusan yang diambil pasti ada dampak terhadap proses demokratisasi kita. Secara umum bahwa pemerintah terutama Kementerian Hukum menganggap keputusan itu harus kita hormati, pemerintah dalam posisi menghargai putusan tersebut," kata Supratman.
Sebelumnya, MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tambah dia.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa ketentuan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak pollik dan kedaulatan rakyat namun juga melangga moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi.
“Nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mankamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya,” ujar Saldi.
“Pergeseran pendirian trebut tidak hanya menyankut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan clon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” lanjut dia.
Adapun perkara ini menguji Pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang berbunyi sebagai berikut:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.
Dalam gugatannya pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat ketentuan presidential threshold yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu.
Sebab, mereka menilai terjadi keterbatasan bagi pemilih untuk menentukan pilihan presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan preferensi atau dukungan politiknya.