Suara.com - Hakim Ketua Eko Aryanto menjadi sorotan publik setelah memimpin sidang vonis kasus korupsi besar yang merugikan negara hingga Rp 271 triliun.
Dalam putusan yang dibacakan pada Senin (23/12/2024), terdakwa Harvey Moeis dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara. Kemudian, denda Rp1 miliar dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar.
Putusan tersebut lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta hukuman 12 tahun penjara.
Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto menyebut bahwa tuntutan tersebut dinilai terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa berdasarkan kronologi kasus.
“Pidana penjara selama 12 tahun yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap tidak proporsional dengan kesalahan terdakwa sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan,” ujar Eko Aryanto saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi.
Profil Eko Aryanto
Hakim Eko Aryanto lahir di Malang, Jawa Timur pada 25 Mei 1968. Dia menempuh pendidikan hukum di Universitas Brawijaya dan meraih gelar sarjana pada 1987.
Setelah itu, Eko melanjutkan pendidikan S2 di IBLAM School of Law pada 2002, dan gelar doktor di Universitas 17 Agustus 1945 pada 2015.
Karier Eko Aryanto dimulai di Pengadilan Negeri Tulungagung pada 2017. Dia dikenal aktif meningkatkan transparansi dan keadilan. Berkat rekam jejak tersebut, ia kemudian dipercaya menangani kasus-kasus besar, termasuk perkara tindak pidana korupsi seperti yang melibatkan Harvey Moeis.
Di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Eko Aryanto juga pernah menangani sejumlah kasus pidana berat, seperti kasus kelompok kriminal John Kei, Bukon Koko, dan Yeremias yang terkait dengan kematian Yustis Corwing (Erwin).
Vonis yang dijatuhkan oleh Hakim Ketua Eko Aryanto terhadap Harvey Moeis menuai kontroversi. Banyak pihak menilai hukuman tersebut terlalu ringan untuk kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Keputusan ini juga memunculkan diskusi publik mengenai penerapan keadilan dalam kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.