Suara.com - Ketegangan melanda Uttarkashi pada Minggu (1/12) setelah sebuah mahapanchayat yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok sayap kanan Hindu, menyerukan penggusuran masjid yang telah berdiri selama hampir lima dekade di kota tersebut. Aksi ini memicu protes dari berbagai pihak dan meningkatkan ketegangan yang telah meruncing dalam dua bulan terakhir terkait masalah hukum masjid tersebut.
Mahapanchayat yang digelar di Ramlila Maidan ini dihadiri sekitar 500 orang dan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Dalam acara ini, beberapa legislator dari Bharatiya Janata Party (BJP) turut memberikan pidato.
Salah satu yang mencolok adalah T Raja Singh, anggota legislatif dari Telangana, yang mengkritik Pemerintah Negara Bagian Uttarakhand yang dipimpin oleh Pushkar Singh Dhami. Menurut Singh, Dhami seharusnya mengambil inspirasi dari Yogi Adityanath, Ketua Menteri Uttar Pradesh, dalam mengatasi isu yang disebutnya sebagai “land jihad” dengan menggunakan bulldozer untuk membongkar struktur yang dianggap ilegal.

“Kami tidak akan membiarkan jihadis menguasai tanah di Uttarakhand. Hindu di negara ini sedang melihat bagaimana orang-orang Uttarakhand memberikan pelajaran pada mereka. Ini bukan hanya masalah Uttarkashi, tapi masalah seluruh negara,” ujarnya.
Baca Juga: Ogah Bulan Madu ke Mekkah, Pria India Disiram Mertua dengan Air Keras
Pemakaian istilah “land jihad” dan “love jihad” oleh kelompok sayap kanan Hindu telah memperburuk ketegangan antar kelompok agama di India. Istilah “land jihad” merujuk pada klaim bahwa orang Muslim membeli tanah secara ilegal, sementara “love jihad” mengacu pada narasi yang mengklaim adanya upaya orang Muslim untuk menikahi wanita Hindu dengan tujuan untuk mengubah agama mereka.
Dalam mahapanchayat tersebut, beberapa pemimpin BJP seperti Suresh Singh Chauhan yang juga anggota legislatif dari Gangotri menyerukan agar Uttarkashi tetap dipertahankan sebagai kota religi. Chauhan juga meminta agar toko-toko yang menjual daging dan alkohol dilarang.
“Kami tidak menciptakan suasana ketakutan, tetapi ini adalah kota agama,” kata Chauhan.
Pada acara tersebut, Anuj Walia, Presiden Vishva Hindu Parishad (VHP) negara bagian Uttarakhand, mengumumkan bahwa mahapanchayat berikutnya akan diadakan dalam waktu satu bulan. Mereka juga berencana untuk menggelar protes di seluruh distrik menentang keberadaan masjid tersebut, yang dianggap ilegal oleh mereka.
“Ini baru awal perjuangan kami,” ujar Walia.
Baca Juga: Apa Agama Mayoritas di Betlehem?
Meski pemerintah negara bagian memastikan bahwa mereka telah memberikan perlindungan bagi masjid dan tidak akan membiarkan siapa pun mengambil tindakan sepihak, ketegangan tetap tinggi. Pemerintah negara bagian menyatakan bahwa mereka tidak memberikan izin untuk acara tersebut, tetapi mahamapanchayat tetap berlangsung.
Kontroversi ini bermula pada 9 September, ketika beberapa organisasi Hindu mengajukan petisi kepada Pejabat Distrik Uttarkashi, Meharban Singh Bisht, dengan permintaan agar masjid di Barahat dihancurkan. Mereka mengklaim bahwa masjid tersebut tidak terdaftar dalam catatan resmi.
Untuk menyelidiki klaim ini, Pemerintah Distrik membentuk sebuah tim yang menyimpulkan bahwa masjid tersebut sah dan tanah tempatnya berdiri terdaftar atas nama warga Muslim.
Namun, meskipun hasil investigasi menunjukkan bahwa masjid tersebut legal, kelompok-kelompok Hindu tetap mengadakan aksi protes, yang berujung pada kerusuhan pada 24 Oktober, di mana bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat polisi menyebabkan sejumlah orang terluka.
Sementara itu, anggota komunitas Muslim setempat merasa cemas dan banyak yang memilih tetap berada di rumah mereka pada hari mahapanchayat tersebut.
Ishtiak Ahmed, salah satu warga yang tinggal di Uttarkashi, menyatakan bahwa keluarganya hidup dalam ketakutan dan khawatir dengan penyebaran kebencian yang semakin meluas.
"Kata-kata kebencian seperti ini menyebar dengan cepat. Pemerintah daerah seharusnya tidak mengizinkan acara tersebut,” ujar Ahmed, yang juga salah satu penggugat yang membawa kasus ini ke Pengadilan Tinggi.